<p>Suasana pelayanan nasabah di Kantor Pusat Bank Bukopin di Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta, Jumat, 3 Juni 2020. Pemegang saham terbesar kedua PT Bank Bukopin Tbk. , KB Kookmin Bank berencana menjadi pemegang saham mayoritas dengan membidik 51% saham perseroan. Untuk bisa mengenggam 51 persen saham, Kookmin Bank akan meningkatkan porsi dari 22 persen ke 26 persen dalam Penawaran Umum Terbatas (PUT) V Bank Bukopin tahun ini. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Duh! Indeks Inklusi Keuangan Indonesia Kalah Jauh dari Malaysia dan Thailand

  • Indeks inklusi keuangan di Indonesia tercatat masih rendah di wilayah Asia Tenggara. Apabila dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia, kedua negara ini memiliki indeks inklusi keuangan masing-masing 82% dan 85%.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Indeks inklusi keuangan di Indonesia tercatat masih rendah di wilayah Asia Tenggara. Apabila dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia, kedua negara ini memiliki indeks inklusi keuangan masing-masing 82% dan 85%.

Sementara itu, kendati menunjukkan tren perbaikan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan rata-rata indeks inklusi keuangan di Indonesia masih di bawah 50%.

Secara detail, pertumbuhan paling tinggi dialami oleh sektor perbankan, yakni 73,88%. Kenaikan ini lebih baik dibandingkan dengan 2016 sebesar 63,6%. Sementara itu, inklusi keuangan di lembaga pembiayaan mengungguli sektor asuransi, yakni 14,56% atau naik dari 11,8%.

Inklusi keuangan asuransi sendiri mengalami pertumbuhan meski tipis, dari 12,1% menjadi 13,15% pada tahun ini. Selanjutnya, ada pegadaian sebesar 12,38% atau naik dari 10,5%, dan dana pensiun yang naik dari 4,7% menjadi 6,18%.

Pasar modal dan lembaga keuangan mikro masih menjadi yang terendah untuk indeks inklusi keuangan, yakni masing-masing 1,55% dan 0,72%.

Berkaitan dengan Pertumbuhan Ekonomi

Wakil Direktur Instutute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, indeks tersebut memiliki keterkaitan penting dengan pertumbuhan ekonomi.

Salah satunya dilihat dari rasio kredit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Data World Bank 2020 menunjukkan, rasio yang dimiliki Indonesia yang sebesar 32%, masih rendah di antara negara lain di Asia. Negara lain seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, dan China, misalnya, semuanya memiliki rasio kredit terhadap PDB lebih dari 100%.

Menurut Eko, pemerataan inklusi keuangan mesti dilakukan dari sisi supply atau kredit, bukan hanya dari sisi demand atau permintaan. Sebab, kata dia, selama ini rata-rata pertumbuhan ekonomi di Tanah Air hanya ada di kisaran 5%.

Kredit Masih Lemah dan Belum Merata

Di samping itu, alokasi kredit juga masih timpang antarsektoral. Diketahui, per September 2020, penyaluran kredit paling besar terjadi di sektor perdagangan sebesar 24,3% dan industri 22,5%.

Sementara itu, penyaluran kredit di sektor pertanian sebesar 10,3% dan konstruksi 9,5%. Untuk posisi paling rendah, ada di sektor energi dan gas yang sebesar 2,2%.

“Penyaluran kredit mestinya lebih merata, jangan hanya di sektor perdagangan dan industri,” kata Eko dalam diskusi virtual 9 Tahun Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Menjaga Inklusi Jasa Keuangan Indonesia, Kamis, 3 Desember 2020.

Terlebih, kata dia, kredit perbankan juga tercatat semakin melemah. Seperti diketahui, pertumbuhan kredit kembali menurun dari 1,04% year-on-year (yoy) pada Agustus 2020 menjadi 0,12% yoy pada Semptember 2020.

Ekonom ini pun mendorong OJK untuk memperhatikan pemerataan inklusi keuangan mendorong pemulihan ekonomi. Menurutnya, literasi keuangan harus digalakkan tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di daerah lain.

Pasalnya, literasi dan inklusi keuangan di Indonesia masih belum merata. Paling tinggi ada di DKI Jakarta indeksnya masing-masing sebesar 59,16% dan 94,76%. Adapun paling rendah terdapat di NTT yang masing-masing sebesar 27,82% dan 60,63%.

Apabila tantangan tersebut terus diupayakan, lanjut Eko, peran yang dilaksanakan OJK pun bisa lebih strategis untuk perekonomian Indonesia. (SKO)