<p>Ilustrasi perkebunan tembakau / Foto: Balittas.litbang.pertanian.go.id</p>
Industri

Dukung Penurunan Prevalensi Perokok, Asosiasi Dorong Regulasi HPTL

  • Regulasi berbasis kajian ilmiah bagi produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL), seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, dan snus, dipercaya dapat berkontribusi dalam menurunkan angka perokok di Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah diminta untuk mulai melakukan kajian ilmiah yang menyeluruh terhadap produk tersebut.

Industri

Reza Pahlevi

JAKARTA – Regulasi berbasis kajian ilmiah bagi produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dipercaya dapat berkontribusi dalam menurunkan angka perokok di Indonesia. Produk HPTL ituseperti tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, dan snus.

Oleh sebab itu, pemerintah diminta untuk mulai melakukan kajian ilmiah yang menyeluruh terhadap produk tersebut.

Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO) Paido Siahaan mengatakan pemerintah harus segera melakukan penelitian untuk menentukan kebijakan bagi produk HPTL atau menguji kebijakan yang telah diambil oleh negara lain, seperti Pemerintah Inggris.

“Kami menyarankan agar semua pihak mengedepankan argumen ilmiah, bukan sekedar opini untuk mendukung pernyataan mereka,” kata Paido saat dihubungi wartawan, Jumat, 9 Juli 2021.

Paido menjelaskan Inggris sudah melakukan kajian ilmiah terhadap produk HPTL dan mendukung penggunaannya untuk menekan prevalensi merokok. Dukungan tersebut juga diperkuat dengan regulasi.

“Layanan Kesehatan Nasional Inggris (The National Health Service/NHS) telah menggunakan produk HPTL untuk mengatasi masalah rokok. Kami berharap, dalam hal ini, pemerintah bisa melakukan hal serupa untuk menekan jumlah perokok di Indonesia,” kata Paido.

Lantaran belum adanya riset yang dilakukan pemerintah, banyak opini simpang siur yang berkembang di masyarakat bahwa produk HPTL lebih berbahaya dibandingkan rokok. Dengan adanya riset, Paido berharap publik mendapatkan informasi yang komprehensif.

“Karena sudah masuk ranah sains, kami mendorong para peneliti untuk menganalisis dan menyajikan hasil analisis mereka terhadap isu ini,” ungkap Paido.

Namun, menurut Paido, ini kembali lagi terhadap keinginan pemerintah sendiri. Pemerintah tetap ingin melakukan kajian ilmiah atau menggunakan data dari pihak lain.

“Kami tidak mencoba menjadi pemimpin dalam masalah ini. Kami inginkan pemerintah memberikan kesempatan untuk mengurangi dampak pemakaian tembakau yang dibakar bagi sekitar 60 juta perokok di Indonesia,” kata Paido.

Dengan adanya regulasi yang berbasis riset, perokok dewasa diharapkan semakin lebih mudah mengakses produk HPTL.

“Kami menganggap akses konsumen sudah jauh lebih mudah untuk mendapatkan produk alternatif ini. Yang kami cemaskan, jangan sampai regulasi ke depan mengakibatkan harga dan akses yang semakin memberatkan konsumen,” ucapnya.

Direktur Kajian dan Riset Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (Poskolegnas) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fathudin Kalimas, sependapat dengan Paido.

Menurut dia, pemerintah perlu menghadirkan regulasi berbasis kajian ilmiah bagi produk HPTL. Karena berlandaskan riset, regulasi tersebut pun diharapkan proporsional sesuai dengan profil risiko dari produk HPTL.

“Sudah banyak kajian ilmiah yang menemukan bahwa produk HPTL memiliki profil risiko yang lebih rendah dari rokok. Jika demikian, maka regulasi ini cukup penting, khususnya sebagai salah satu strategi untuk menurunkan prevalensi perokok yang menjadi tantangan pemerintah,” ucap Fathudin.

Regulasi tersebut nantinya diharapkan mengatur tentang akses dan informasi yang terbuka bagi perokok dewasa terhadap produk HPTL. Kemudian ketentuan tentang pembatasan usia pengguna. Anak-anak di bawah usia 18 tahun dan non-perokok dilarang untuk menggunakan produk ini.

“Lalu peringatan kesehatan yang tentu harus disesuaikan dengan profil risiko yang dimiliki produk HPTL,” ujar Fathudin. (LRD)