Dulu Tidak Terurus, Kini Kakao Desa Nglanggeran Bisa Diekspor Sampai Swiss
- Ketua Koperasi Amanah Boga Sejahtera dan Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Nglanggeran Ahmad Nasrodin mengatakan, dulunya, pihaknya merasa prihatin dengan perkembangan kakao Nglanggeran, khususnya pada sekitar tahun 2017, yang mana pada saat itu harganya hanya dibanderol di bawah Rp10.000 perkilogram.
Nasional
YOGYAKARTA – Tanaman kakao di Desa Nglanggeran yang terletak di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, kini menjadi primadona yang penjualannya telah menembus sampai ke negara Swiss. Padahal, dulunya pengelolaan kakao di desa tersebut bisa dikatakan tidak cukup terurus dengan baik.
Ketua Koperasi Amanah Boga Sejahtera dan Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Nglanggeran Ahmad Nasrodin mengatakan, dulunya, pihaknya merasa prihatin dengan perkembangan kakao Nglanggeran, khususnya pada sekitar tahun 2017, yang mana pada saat itu harganya hanya dibanderol di bawah Rp10.000 perkilogram.
“Tapi, setelah kami amati, kakao adalah komoditas yang terbaik di sini karena kakao di itu di musim kemarau pun bisa tahan. Jadi, walaupun kekurangan air, tetap bisa hidup. Dengan kakao, kami pun memiliki tekad untuk menyejahterakan masyarakat,” papar Ahmad saat kunjungan media ke rumah penanam kakao di Desa Nglanggeran, Gunung Kidul, Yogyakarta, Kamis, 2 Mei 2024.
- Lubang Biru Terdalam di Dunia Ini Diperkirakan Punya Terowongan Tersembunyi
- Prakiraan Cuaca Besok dan Hari Ini 02 Mei 2024 untuk Wilayah DKI Jakarta
- Beri Sinyal Semua Baik-Baik Saja, BRI Buyback Saham
Dengan adanya dukungan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), sumber daya manusia (SDM) yang bergerak di bidang pertanian kakao pun bisa mengembangkan kualitas produk hingga bisa layak ekspor.
Dulunya, ada sekitar 96 penanam kakao yang dikerucutkan menjadi sekitar 20 orang ketika BUMDes membentuk komunitas penanam kakao di sana dengan bantuan LPEI.
Dengan dukungan dari 20 penanam tersebut, tanaman kakao yang tumbuh kembang di Desa Nglanggeran itu pun bisa digali potensinya lebih lanjut sehingga menghasilkan produk yang layak ekspor.
“Dengan peningkatan SDM dari LPEI pada tahun 2023, kami sudah bisa ekspor. Yang kami layani ekspornya itu salah satunya bernama Mr.Vincent dari Swiss,” papar Achmad.
Baca Juga: Masuk Bisnis Olahan Cokelat dan Susu Kemasan, Intip Prospek Bisnis Produsen Sari Roti
Achmad pun menyebutkan bahwa ia pernah mendapatkan produk sampel cokelat batangan yang diproduksi oleh sang importir. Ia mendapatkan lima batang cokelat, dan salah satunya memiliki merek Gunung Kidul.
Selain membawa kekayaan lokal untuk mendunia, Desa Nglanggeran pun berhasil meningkatkan nilai dari produk kakao yang mereka olah.
Menurut Maqin Norhadi, Direktur Pelaksana Pengembangan Bisnis LPEI, pihaknya telah memberikan dukungan yang signifikan bagi desa tersebut dengan meningkatkan nilai tambah pada produk kakao yang kini bisa diekspor sekitar 123 kilogram perbulannya.
Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk kakao Indonesia di pasar internasional. Setelah sebelumnya menginjak harga di bawah Rp10.000, kini kakao dari Desa Nglanggeran bisa dijual dengan harga Rp70.000 perkilogram. Untuk kakao fermentasi, harganya bahkan bisa mencapai Rp120.000 perkilogram.
Dengan luas lahan yang mencapai 10 hektare yang cukup cocok ditanami kakao, Desa Nglanggeran disebut oleh Maqin sebagai wilayah yang sangat potensial untuk mendorong produk berkualitas.
“Sehingga mereka (warga) bisa ekspor dan cuan,” kata Maqin.
Heri, seorang penanam kakao dan warga Dusun Doga, juga menyampaikan pengalamannya. Dia menyatakan bahwa bantuan LPEI tidak hanya meningkatkan produksi, tetapi juga meningkatkan kesadaran penanam.
- Saham PGEO, RAJA dan BBRI Layak Diburu Kala Ekonomi Limbung
- IHSG Dibuka Melemah, Saham ADRO, AKRA dan PTBA Menarik Disimak
- Daftar 12 Film yang Tayang di Bioskop Bulan Mei
Melalui pendampingan LPEI dan dinas, pohon kakao yang sebelumnya tidak terurus kini mulai pulih, dan kesadaran penanam akan pentingnya pertanian telah meningkat.
Heri menyampaikan bahwa sebelumnya warga setempat merasa malu untuk mengemban profesi sebagai buruh tani semacam penanam kakao.
“Kesadaran untuk bertani itu rendah karena dulu malu. Tapi, setelah mendapatkan manfaatnya baru merasakan,” papar Heri.
Walaupun Heri sendiri menganggap bahwa profesi penanam kakao adalah sampingan karena ia sendiri memiliki profesi utama sebagai guru, namun jumlah penghasilan yang ia peroleh cukup bisa menyaingi nominal yang ia dapatkan dari profesi utamanya itu.