Ilustrasi pemulung mengais sampah plastik.
Dunia

Dunia Didorong Capai Kesepakatan Global Atasi Polusi Plastik

  • Menurut Program Lingkungan PBB, dunia menghasilkan sekitar 400 juta metrik ton sampah plastik setiap tahun dan kurang dari 10% di antaranya didaur ulang. International Union for Conservation of Nature mengatakan setidaknya 14 juta metrik ton berakhir di laut setiap tahun.
Dunia
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA - Para negosiator yang mengerjakan perjanjian pertama di dunia untuk mengurangi polusi plastik perlu segera mencapai kesepakatan. Hal itu disampaikan Presiden Kenya William Ruto pada Senin, 13 November 2023, di awal pembicaraan di Nairobi.

Menurut Program Lingkungan PBB, dunia menghasilkan sekitar 400 juta metrik ton sampah plastik setiap tahun dan kurang dari 10% di antaranya didaur ulang. International Union for Conservation of Nature mengatakan setidaknya 14 juta metrik ton berakhir di laut setiap tahun. 

Sementara lebih banyak lagi yang menumpuk di tempat pembuangan sampah. Delegasi internasional yang bertemu di ibu kota Kenya, Nairobi, untuk perundingan putaran ketiga akan mempertimbangkan daftar langkah-langkah yang mungkin untuk dimasukkan dalam perjanjian tersebut.

“Saya mendesak semua negosiator untuk mengingat bahwa 2024 hanya tinggal enam minggu lagi dan (masih) hanya ada dua pertemuan lagi,” kata Ruto pada pembukaan pembicaraan, dikutip dari Reuters, Selasa, 14 November 2023.

Pemerintah sepakat pada Maret 2022 untuk membuat perjanjian pengendalian polusi plastik pada akhir tahun depan. Di Nairobi, para delegasi akan menawar apakah akan tetap berpegang pada mandat luas mereka untuk menangani seluruh siklus hidup plastik, termasuk produksi, atau memprioritaskan pengelolaan sampah plastik.

“Pembicaraan tersebut perlu menghasilkan draf kesepakatan pertama, yang menguraikan komitmen untuk mengurangi ancaman plastik, dan skema pembiayaan untuk implementasinya,” kata Carroll Muffett, presiden Pusat Hukum Lingkungan Internasional.

“Kita perlu menavigasi risiko luar biasa selama seminggu ke depan,” katanya, mengutip upaya untuk menggagalkan dan menunda pembicaraan oleh beberapa negara anggota di putaran sebelumnya.

Kenya termasuk di antara mereka yang menginginkan kesepakatan yang kuat dan mengikat tentang pembuatan dan penggunaan plastik, setelah memberlakukan beberapa undang-undang yang melarang penggunaan plastik tertentu, seperti untuk tas belanja, sejak 2017.

“Kita harus mengubah cara kita mengkonsumsi, cara kita berproduksi, dan cara kita membuang sampah,” kata Ruto. “Perubahan tidak bisa dihindari. Instrumen yang sedang kami kerjakan ini, adalah domino pertama dalam perubahan itu. Mari kita bawa pulang.”

Industri plastik dan pengekspor minyak dan petrokimia seperti Arab Saudi tidak ingin penggunaan plastik dibatasi, dengan alasan bahwa kesepakatan global harus mendorong peningkatan daur ulang dan penggunaan kembali plastik.

“Sebagian besar negara sangat ingin memajukan negosiasi untuk menyelesaikan pekerjaan,” kata Pamela Miller, Co-Chair dari International Pollutants Elimination Network, sebuah organisasi kepentingan publik global.

“Di sisi lain, sekelompok kecil negara yang berpikiran sama, terutama pengekspor bahan bakar fosil, petrokimia, dan plastik utama seperti Arab Saudi dan Rusia secara aktif berusaha membawa kita mundur.” Delegasi Saudi dan Rusia tidak segera bersedia berkomentar.