Dunia Sudah Habiskan Rp168.000 Triliun Tangani COVID-19
- Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa negara-negara telah menghabiskan US$12 triliun setara Rp168.000 triliun dalam upaya penanganan COVID-19 sejak tahun 2020 lalu.
Dunia
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa negara-negara telah menghabiskan US$12 triliun setara Rp168.000 triliun dalam upaya penanganan COVID-19 sejak tahun 2020 lalu.
Menurut dia, anggaran tersebut dikeluarkan untuk membeli obat-obatan, vaksin, pemulihan ekonomi dan berbagai kebijakan lain yang terkait dengan penanganan pandemi COVID-19.
“Covid -19 telah menyebabkan Dunia kehilangan US$12 triliun, dalam bentuk kontraksi ekonomi, biaya kesehatan, kehilangan pekerjaan, kemiskinan dan biaya fiskal untuk mengatasinya,” katanya dalam pertemuan Menkeu dan Menkes G20, dikutip Minggu, 31 Oktober 2021.
Bendahara Negara mengungkapkan bahwa meski terlihat biayanya sangat besar, tetapi faktanya banyak negara yang belum memiliki akses yang setara terhadap vaksin dan obat-obatan.
- Di KTT G20 Roma, Jokowi Dorong Penguatan Infrastruktur Kesehatan Global
- Presiden Turki Erdogan akan ke Indonesia
- Inilah Alasan Rahasia Mengapa Supermarket Tidak Memiliki Jendela
Di negara-negara Afrika, misalnya, tingkat vaksinasi baru mencapai 3%. Sebaliknya, di negara-negara maju, tingkat vaksinasinya sudah mencapai 70% bahkan ada beberapa negara yang sudah 100%.
“Ketidaksetaraan vaksin ini membahayakan seluruh dunia karena virus Covid-19 akan terus bermutasi dan mengancam siapa saja, dimanapun mereka berada,” katanya.
Dia melihat kesenjangan akses terhadap vaksinasi dan obat-obatan bisa menghambat pemulihan ekonomi global.
Hal itu terbukti dari kebijakan IMF maupun World Bank yang telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tengah kesenjangan vaksinasi yang terjadi di antara negara miskin dan kaya.
Sri Mulyani mengatakan kenaikan energi yang terjadi sangat cepat karena investasi di bidang energi terutama yang non-renewable sudah merosot tajam dihadapkan pada permintaan energi yang melonjak akibat pemulihan ekonomi. Hal tersebut yang kemudian mendorong inflasi yang tinggi di berbagai negara.
"Ini menjadi ancaman pemulihan ekonomi global. Indonesia perlu juga tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya rembesan hal tersebut," katanya.
Merespons kondisi kesenjangan tersebur, Sri Mulyani mendorong agar KTT G20 perlu membangun sebuah mekanisme pencegahan pandemi atau pandemic preparedness.
Hal itu kemudian disepakati dalam KTT G20 yang mana akan ada joint finance health task force atau satuan kerja antara menteri keuangan dan menteri kesehatan di bawah G20. Kemitraan ini bertujan menyiapkan prevention, preparedness, dan response (PPR) dari pandemi.
- Garuda Negosiasi Utang Sewa Pesawat Biar Tak Bangkrut, BUMN Pasang Badan
- Biaya Transfer Antarbank Turun Jadi Rp2.500 Mulai Desember 2021
- Impor Listrik PLTS ke Singapura, Medco Gandeng Grup Salim
Task force tersebut dipimpin oleh Menteri Keuangan Indonesia dan Italia. Indonesia sebagai tuan rumah atau presidensi KTT G20 mulai Desember dan Italia yang sekarang ini menjadi presidensinya.
“Task Force harus mencari solusi pendanaan baik untuk membantu negara-negara terutama negara miskin lebih siap dan lebih baik dalam sistem kesehatannya menghadapi ancaman pandemi, dana untuk penelitian virus dan penemuan vaksin serta produksi dan distribusi yang adil dan beradab,” katanya.
Sebelumnya, IMF mencatat kerugian keuangan global akibat virus dari China ini bisa mencapai US$5,3 triliun setara Rp75,244 triliun.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva memperingatkan ekonomi dunia tetap "tertatih-tatih" oleh pandemi COVID-19.
Dia mengatakan hambatan paling serius untuk pemulihan penuh adalah kesenjangan vaksin antara negara-negara kaya dan miskin. Hal itu mendorong kerugian keuangan global selama lima tahun ke depan kecuali berhasil ditambal.
Georgieva meminta negara-negara kaya untuk segera memenuhi janji mereka untuk berbagi stok vaksin dengan negara-negara berkembang.
"Kita menghadapi pemulihan global yang masih tertatih-tatih oleh pandemi dan dampaknya. Kami tidak dapat berjalan ke depan dengan benar -- ini seperti berjalan dengan batu di sepatu kami! Kendala yang paling langsung adalah 'kesenjangan vaksinasi yang besar' – terlalu banyak negara dengan akses yang terlalu sedikit ke vaksin, membuat terlalu banyak orang tidak terlindungi dari Covid," katanya.*