<p>Bank Indonesia./ Annual Report ID</p>
Industri

Dunia Usaha Belum Pulih, Pembiayaan Korporasi Masih Lambat

  • Dunia usaha yang belum pulih membuat kebutuhan pembiayaan korporasi semakin melambat. Bank Indonesia (BI) mencatat Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pembiayaan korporasi pada Juli 2021 yang hanya tumbuh 1,8% year on year (yoy).
Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Dunia usaha yang belum pulih membuat kebutuhan pembiayaan korporasi semakin melambat. Bank Indonesia (BI) mencatat Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pembiayaan korporasi pada Juli 2021 yang hanya tumbuh 1,8% year on year (yoy).

Capaian ini jauh lambat dibandingkan Juni 2021 yang sempat menyentuh 12,8% yoy. Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan sektor konstruksi, penyediaan makanan dan minuman (mamin), serta informasi komunikasi menjadi asal muasal melambatnya pembiayaan korporasi pada bulan lalu.

“Dipengaruhi oleh menurunnya kegiatan operasional dan penundaan sejumlah rencana investasi,”  ucap Erwin dalam laporan Survei Permintaan dan Penawaran Pembiayaan Perbankan, dikutip Rabu, 18 Agustus 2021.

Selain itu, sektor pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan dikatakan Erwin juga punya pengaruh kuat terhadap perlambatan pembiayaan korporasi. Di sisi lain, sektor yang telah menunjukan kepulihan antara lain transportasi dan perdagangan, kesehatan, dan jasa lainnya.

Meski begitu, sumber pembiayaan dari perbankan masih mengalami pertumbuhan dari 8,3% pada Juni menjadi 12,2% pada Juli 2021. Kendati demikian, sebanyak 52,4% pelaku usaha masih mengandalkan dana sendiri sebagai sumber pembiayaan.

Khusus untuk pelaku usaha yang memilih sumber pembiayaan perbankan,  Sebanyak 46,7% menyatakan kemudahan akses perbankan mendorong mereka mencari sumber dana dari kredit perbankan.

Selain itu, ada pula 26,7% pelaku usaha menyarakan suku bunga yang sedang kompetitif membuatnya mengambil kredit dari perbankan.

Pertumbuhan Tipis

Kredit di segmen ini diprediksi mengalami pertumbuhan tipis pada tahun ini.  Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI) Josua Pardede memproyeksikan kredit korporasi perbankan bisa tumbuh 1%-2% pada tahun ini. 

Pemulihan ekonomi yang tengah dilakukan pemerintah melalui pembangunan infrastruktur bakal menjadi penopang pertumbuhan kredit pada tahun ini. 

Seperti diketahui, pemerintah memiliki target fantastis terhadap proyek pembangunan infrastruktur di tahun ini. Salah satunya proyek strategis nasional (PSN) dengan investasi mencapai Rp464,6 triliun.

"Proyeksi ini mempertimbangkan potensi pemulihan ekonomi yang diperkirakan akan kembali berlanjut pada kuartal IV-2021 meskipun cenderung melambat pada kuartal III-2021,” ucap Josua kepada TrenAsia.com, Rabu, 18 Agustus 2021.

Sementara, sektor manufaktur diprediksi menjadi batu sandungan kinerja kredit korporasi pada tahun ini. Hal ini tidak lepas dari merosotnya Purchase Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia ke level 40,10 pada Juli 2021.

Selain itu, sentimen lainnya yang menahan kredit korporasi berasal dari industri ritel. Sektor tersebut, kata Josua, paling babak belur karena dicegat PPKM Level 4.

Per Mei, kedua sektor tersebut masing-masing masih terkontraksi 2,0% year on year (yoy)  dan 4,5% yoy. Dengan adanya PPKM level 4 , diperkirakan kedua sektor tersebut masih akan terus terkontraksi hingga setidaknya kuartal IV-2021, seiring dengan perlambatan aktivitas perekonomian.

Dari segi industri, capital adequacy ratio (CAR) perbankan bertengger di level 24,33% per Juni 2021 atau meningkat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 24,28%.

Lalu, Non performing loan (NPL) gross pada Juni 2021 mengalami penurunan menjadi 3,24% dari sebelumnya 3,35%. Kecukupan likuiditas industri perbankan juga memadai untuk mendukung intermediasi, tercermin dari rasio alat likuid terhadap non-core deposit dan DPK per Juni 2021 sebesar 151,20% dan 32,95%.

Josua menilai kondisi industri saat ini cukup mumpuni untuk menunjang kredit korporasi yang biasanya memiliki nilai outstanding tinggi.

“Beberapa sektor penyaluran kredit korporasi yang dapat dioptimalkan mempertimbangkan pertumbuhan kredit yang masih terbatas dan di saat bersamaan risiko kreditnya cenderung manageable  antara lain sektor konstruksi dan telekomunikasi,” ujar Josua.