Editor Media Perlu Punya Pemahaman Soal Kelompok Marjinal
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surakarta mendorong para editor media massa memiliki perspektif yang memadai soal kelompok marjinal dan kalangan minoritas. Hal itu agar produk pemberitaan dapat tersaji proporsional dan tidak semakin menyudutkan kelompok tersebut.
Nasional
SOLO – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surakarta mendorong para editor media massa memiliki perspektif yang memadai soal kelompok marjinal dan kalangan minoritas. Hal itu agar produk pemberitaan dapat tersaji proporsional dan tidak semakin menyudutkan kelompok tersebut.
Dorongan itu mengemuka dalam acara “Editor Meeting, Penguatan Informasi Terhadap Kelompok Marjinal" di Hotel Megaland, Jumat, 1 Desember 2023. Agenda tersebut mengundang belasan redaktur, editor maupun redaktur pelaksana media skala nasional hingga lokal yang berbasis di Solo.
Pertemuan para editor ini merupakan sarana berbagi informasi mengenai berbagai isu dan pemberitaan media. Sebagaimana diketahui, dapur redaksi menjadi nakhoda pemberitaan media. Oleh karenanya editor, redaktur, redpel, dan pemimpin redaksi (pemred) memiliki peran yang sangat menentukan.
Ketua AJI Kota Surakarta Mariyana Ricky PD mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai perspektif redaksi, dukungan, dan kendala dalam penguatan informasi terhadap kelompok marjinal.
Di awal pertemuan, Mariyana memaparkan sejumlah riset mengenai pemberitaan kelompok marjinal dan minoritas dari berbagai media. Selain itu, menjelang pemilu, penggorengan isu marjinal dan hoaks meningkat tajam. Para politikus pun ada yang menyuarakan sekaligus mengeksploitasi ujaran kebencian.
- Pendanaan Iklim Negara Maju Dinilai Kurang Transparan
- Transformasi NISA, Perubahan Paradigma Investasi di Jepang
- KAI Canangkan Penananaman 1 Juta Pohon Hingga 2041
Ironisnya, beberapa media justru menjadi pendengung dan mengamplifikasi pernyataan tersebut. “Lantas kenapa politik identitas masih terus terdengar? Karena media dan masyarakatnya belum kuat. Terlebih jika masyarakat tak familiar dengan keberagaman,” kata Mariyana.
Di satu sisi, kelompok minoritas memiliki suara yang lemah. Mereka tak banyak mendapat perhatian suara, media, dan sokongan karena tak mendulang klik. “Saat ini, banyak kelompok seperti agama lokal yang tidak mendapat ruang,” tutur Mariyana.
Dengan kondisi seperti itu, media berperan penting untuk melakukan edukasi melalui pemberitaan yang berimbang, netral, dan melakukan verifikasi. Redaktur Pelaksana Solopos.com Danang Nur Ichsan mengatakan media online memiliki tantangan tersendiri dalam mengangkat persoalan kelompok marjinal.
Hal itu karena proses penyaringan produk jurnalistik di media online yang cenderung lebih longgar ketimbang media seperti koran. Selain itu, traffic seringkali menjadi patron utama media online.
“Tantangan selanjutnya adalah bagaimana membangun keseimbangan. Caranya mungkin bisa cari traffic dari isu lain. Jangan membuat berita soal minoritas yang cenderung menghakimi dan membuat mereka semakin terdiskriminasi, hanya untuk klik.”
Pelatihan Jurnalistik
Lebih lanjut, Danang menyoroti perlunya pelatihan jurnalistik yang memadai terhadap content writer hingga tim yang mengelola media sosial. Selama ini pelatihan cenderung hanya menyentuh para jurnalis lapangan. “Sekarang semua media punya medsos, tapi apakah tim mereka paham tentang kode etik jurnalistik dan sebagainya?.”
Editor Kompas.com Phytag Kurniati mengatakan media juga memiliki tantangan lain yakni penyegaran posisi atau perpindahan desk. Saat menempati posisi yang baru, jurnalis tentu memerlukan penyesuaian.
Oleh karena itu, perlu ada pelatihan pemahaman yang berkesinambungan. Selain itu, tidak menutup kemungkinan jajaran redaksi melakukan kesalahan karena beberapa faktor eksternal.
“Peran masing-masing di redaksi juga perlu mengingatkan. Karenanya harus sering konfirmasi dibanding membuat konten yang clickbait,” tutur Phytag. Cover both side, imbuhnya, juga harus terus dilakukan untuk menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas.