<p>Karyawati menunjukkan mata uang rupiah dan dolar di kantor cabang Bank Mandiri, Jakarta, Senin, 22 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Efek Vaksinasi COVID-19 Baru Terasa 2022, Outlook Sovereign Credit Rating Indonesia Versi S&#038;P Masih Negatif

  • Lembaga Pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) mempertahankan peringkat Sovereign Credit Rating Indonesia sebagai BBB/outlook negatif pada 22 April 2021.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Lembaga Pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) mempertahankan peringkat Sovereign Credit Rating Indonesia sebagai BBB/outlook negatif pada 22 April 2021.

S&P dalam laporannya menyebut ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh kuat dan memiliki rekam jejak kebijakan yang berhati-hati.

Kendati demikian, S&P menyatakan risiko fiskal dan eksternal yang berkaitan dengan pandemi COVID-19 masih harus diperhatikan pemerintah Indonesia.

Tidak hanya itu, S&P mengukap kondisi penerimaan Indonesia harus kembali ke rasio defisit 3% pada 2023 agar menjaga prospek pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah. S&P memproyeksikan konsolidasi fiskal akan berjalan secara gradual, defisit fiskal akan menyempit di 2021 menjadi 5,7% dan 4,2% di 2022.

Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan strategi pemerintah dalam mendongkrak pemulihan ekonomi secara langsung melalui belanja pemerintah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kebijakan counter cyclical ini diperlukan untuk melawan tren resesi ekonomi melalui langkah-langkah fiskal.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, prospek dari S&P mengindikasikan adanya keyakinan kuat atas perjalanan pemulihan ekonomi Indonesia di masa pandemi COVID-19.

Selain itu, kata Perry, peringkat BB juga menandakan adanya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi yang baik jangka menengah Indonesia.

“Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan ekonomi global dan domestik, mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta terus memperkuat sinergi dengan pemerintah untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional,” kata Perry dalam keterangan resmi yang dikutip Jumat, 23 April 2021.

Respons Optimal

Perry menilai respons kebijakan stabilitas ekonomi Indonesia pada tahun lalu cukup optimal untuk membendung kontraksi ekonomi. Seperti diketahui, Indonesia mengalami kontraksi hingga 5,32% pada kuartal III 2020 dan membaik jadi minus 2,19% pada kuartal IV 2020.

Capaian itu, sambung Perry, relatif lebih baik dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Hal itu tampak dari kontraksi ekonomi yang dialami Filipina dan Thailand pada 2020 sebesar 9,6% dan 6,6%.

S&P memproyeksikan perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terakselerasi pada 2022. Hal ini dipicu percepatan program vaksinasi dan normalisasi aktivitas ekonomi secara bertahap. 

Selain itu, S&P meninjau positif kehadiran produk hukum Undang-Undang Cipta Kerja yang diklaim dapat mempermudah izin usaha dan memperbaiki iklim investasi. Beleid tersebut juga dapat menarik penanaman modal asing (PMA) sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengungkapkan S&P menilai positif keputusan bank sentral untuk menjadi pembeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer. Hal ini, kata Erwin, jadi langkah untuk mengurangi tekanan pembiayaan oleh pemerintah sekaligus bisa meredam beban bunga yang ditanggung pemerintah.

“S&P memandang langkah ini tidak terindikasi memberikan dampak signifikan terhadap inflasi dan imbal hasil obligasi,” ujar Erwin dalam keterangan resmi, Jumat 23 April 2021.

S&P sebelumnya mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB dan merevisi outlook dari stabil menjadi negatif pada 17 April 2020.(RCS)