Ekonom Indef: Dana Burden Sharing Jangan Untuk Program Konsumtif
- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto menyebut dana hasil burden sharing itu jangan sampai terserap ke program konsumtif saja.
Nasional
JAKARTA – Bank Indonesia (BI) melanjutkan skema burden sharing melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) hingga 2022. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto menyebut dana hasil burden sharing itu jangan sampai terserap ke program konsumtif saja.
Agus bilang, dana talangan dari BI tersebut harus dialokasikan pada program produktif yang menghasilkan multiplier effect. Dana burden sharing, kata Agus, menjadi ujung tombak pemulihan ekonomi di Indonesia hingga tahun depan.
Sebelumnya, BI diketahui melanjutkan skema burden sharing pembelian Surat Berharga Negara (SBN) pada 2022 senilai Rp244 triliun. Angka ini naik 13% dibandingkan komposisi pembelian SBN oleh BI pada tahun ini yang hanya Rp215 triliun.
- Transisi ke Sistem Pangan Regeneratif, Nestlé Gelontorkan Dana Rp18,3 Triliun
- Reliance Pilih 8 Saham Unggulan di Tengah Tren Positif IHSG
- IHSG Masih Konsolidasi, Simak Saham Pilihan NH Korindo Hari Ini
“Jangan sampai burden sharing dipakai pembiayaan yang konsumtif, ini kan tidak efisien. Ini harus dipakai pada program pembangunan yang produktif,” jelas Agus dalam diskusi virtual, Senin, 20 September 2021.
Agus menilai pemerintah perlu segera memberikan keyakinan kepada masyarakat mengenai kondisi pemulihan ekonomi. Dalam hal ini, Agus menyebut penting bagi pemerintah untuk memberikan intervensi agar tingkat inflasi kembali menggeliat.
Inflasi dinilai Agus menjadi indikasi penting dalam menggambarkan kondisi perekonomian di dalam negeri. Tingkat inflasi bisa didorong pemerintah melalui stimulus untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Hal ini sebenarnya sudah dilakukan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang direncanakan berlanjut hingga 2022. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menganggarkan Rp321,2 triliun sebagai strategi counter cyclical pada tahun depan.
“Maka yang dibiayai ini harus dipakai untuk program yang memiliki multiplier effect,” jelas Agus.
Inflasi yang terus merosot diklaim Agus terjadi bahkan sebelum ada pandemi COVID-19. Dirinya membeberkan tingkat inflasi pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jauh lebih rendah di bawah era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Pada zaman SBY Inflasi sangat tinggi, Rata-rata 5%. Sementara waktu era Jokowi ini menurun jadi 2%-3%,” papar Agus.
Jokowi menargetkan tingkat inflasi bisa kembali bangkit di angka 3% pada 2021. Malahan, tingkat inflasi diproyeksikan bisa menembus 5%-5,5% pada 2022.
Selain memberikan sumber dana, Agus menjelaskan BI juga telah menopang perekonomian melalui penurunan suku bunga acuan hingga 3,5%. Strategi ini, kata Agus, sebetulnya turut mendorong pemulihan ekonomi di Indonesia.
Meski begitu, BI punya tantangan memastikan suku bunga acuan ini terserap oleh sektor riil. Pasalnya, sektor itu dinilai punya multiplier effect yang tinggi kepada banyak sub-sektor lainnya.
“Jangan sampai suku bunga rendah, tapi sektor riil tidak mau untuk menyerapnya,” jelas Agus.