<p>Pusat perbelanjaan sepi akibat COVID-19. / Pixabay</p>
Industri

Ekonom: Pengelola Mal Hadapi Beban Berat Akibat COVID-19

  • Sejumlah pusat perbelanjaan atau mal memilih menutup kegiatan operasionalnya akibat sepinya pengunjung. Namun, tidak sedikit mal yang tetap menjalankan usahanya mengingat banyak tenant yang tetap beroperasi melayani konsumen melalui jalur online atau pesan antar.

Industri
wahyudatun nisa

wahyudatun nisa

Author

Meluasnya penyebaran wabah virus corona atau COVID-19 terus menggerogoti sektor ekonomi nasional, termasuk pusat perbelanjaan alias mal.

Sejumlah pusat perbelanjaan atau mal memilih menutup kegiatan operasionalnya akibat sepinya pengunjung. Namun, tidak sedikit mal yang tetap menjalankan usahanya mengingat banyak tenant yang tetap beroperasi melayani konsumen melalui jalur online atau pesan antar.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan saat ini pengelola mal tengah memikul beban berat. Akibat sepinya pengunjung banyak tenant yang akhirnya memilih tak beroperasi.

Padahal, kata dia, pengelola mal ini juga dihadapkan pada banyak kewajiban. Dia mencontohkan, biaya operasional, listrik, tenaga kerja hingga beban pinjaman kepada pihak ketiga.

“Bisnis mal termasuk salah satu sektor yang terkena dampak berat akibat pandemi COVID-19. Apalagi jika mereka punya kewajiban dalam bentuk dolar Amerika Serikat yang kini juga sedang tinggi nilai tukarnya terhadap rupiah,” ujar Tauhid di Jakarta, Senin, 6 April 2020.

Pekan lalu, nilai tukar rupiah berada di level Rp16.638 per dolar AS. Bank Indonesia (BI) membuat skenario terburuk jika kondisi pandemi Corona memburuk, nilai tukar rupiah bisa menyentuh level Rp20.000 per dolar AS.

Dengan situasi yang sulit itu, Tauhid menilai permintaan sejumlah tenant agar diberikan kebebasan sewa dan service charge menjadi sulit diterima. Karena pengelola malnya sendiri menghadapi kondisi yang tak kalah berat dibandingkan para tenant-nya.

“Membebaskan tenant dari biaya sewa dan service charge kepada penggelola mal bukan cara tepat. Pengelola mal tentu punya pertimbangan untuk mengambil keputusan. Situasi ini mestinya bisa dipikul bersama,” ujarnya.

Tauhid menambahkan, dalam situasi seperti sekarang ini ada baiknya pemerintah juga ikut meringankan beban pengelola mal beserta tenant mereka. Misalnya Kementerian Perdagangan (Kemendag) bekerja sama dengan perbankan memberikan insentif berupa restrukturisasi kredit atau pinjaman murah.

Menurutnya, dalam situasi seperti ini Kemendag harus menyiapkan satu model insentif bagi pengelola mal.

“Pemerintah juga bisa membuka opsi untuk menurunkan beban pajak bagi pengelola mal. Semua cara harus dicari agar ada solusi terbaik bagi semua dan ekonomi tetap bisa berjalan,” lanjutnya.

Tauhid juga menyarankan pengelola mal untuk mulai membangun jalur penjualan secara online. Langkah ini dinilai akan semakin memperkuat penjualan para ternant, termasuk ketika kelak situasi sudah kembali normal.

“Harus ada terobosan-terobosan agar tenant bisa tetap survive. Membangun fasilitas penjualan online bisa menjadi opsi untuk memperluas jangkauan pemasaran bagi produk-produk tenant, sehingga transaksi bisa dilakukan secara digital,” tutupnya. (SKO)