<p>Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah (ketiga kiri) dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK) Agus Susanto (kedua kiri) pada rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 8 Juli 2020. Rapat tersebut membahas Perlindungan pemerintah terhadap ketahanan struktur ketenagakerjaan pada Pandemi Covid-19, Langkah Strategis Pemerintah dalam penciptaan lapangan pekerjaan pada Tahun 2021 pada Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), dan Penjelasan mengenai grand design Program Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) berdasarkan PP No.25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat dengan Program Fasilitas Manfaat Layanan Tambahan (MLT) bagi pekerja sebagaimana diatur dalam PP No.46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT). Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Nasional

Ekonom: Pengesahan RUU Ciptaker Tak Bikin Investasi di RI Melejit

  • Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi pada kuartal-II 2020 susut 4,3% menjadi Rp191,9 triliun dari sebelumnya Rp200,5 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Nasional
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Nyaris tengah malam, Sabtu, 3 Oktober 2020, Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) telah selesai dibahas pada rapat tingkat I DPR di Gedung Parlemen, Jakarta. DPR dan pemerintah sepakat untuk melanjutkan pembahasan RUU Ciptaker ke rapat paripurna untuk segera disahkan.

Kerja senyap DPR dan pemerintah dalam pembahasan RUU ini pun memancing komentar dari berbagai pihak. Salah satunya Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan M. Teguh Surya.

Teguh menyebut bahwa dikebutnya pembahasan RUU Ciptaker merupakan sebuah pola sesat pikir dari pemerintah dan para pendukungnya. Pasalnya, kata dia, alasan pemerintah mendukung RUU Ciptaker ini tidak beralasan bahkan cenderung mengada-ada.

Narasi pemerintah yang terus menyebut bahwa RUU Ciptaker dibutuhkan karena bisa membantu kelancaran investasi sama sekali tidak berbasiskan data. Sebab faktanya, berdasarkan data The Economist dalam Business Outlook Survey 2019, Indonesia sudah menjadi negara ketiga tujuan investasi paling menarik di daratan Asia.

“Jadi bisikan kepada bapak presiden dan opini dari pendukung UU Ciptaker bahwa kita harus membuat UU Ciptaker untuk menumbuhkan investasi agar investor lebih berminat itu sebenarnya agak kurang tepat,” tutur Teguh dalam konferensi pers daring, Minggu 4 Oktober 2020.

Masalah Sebenarnya

Meski begitu, dia mengakui bahwa sejatinya jalur kemudahan berinvestasi di Indonesia juga bukan tanpa persoalan. Namun, masalah itu bukan pada soal tingginya ongkos pekerja seperti yang digembar-gemborkan pemerintah dan para pendukung RUU Ciptaker.

Data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2017-2019 menunjukkan bahwa masalah utama yang menghambat investasi di Indonesia adalah korupsi. Sementara yang ada dalam pembahasan RUU Ciptaker cenderung menitikberatkan pada urusan lahan dan pemangkasan hak-hak pekerja.

“Kalau kita mau lakukan reformasi di bidang investasi maka pemecahan yang harus dilakukan adalah bagaimana investor itu yakin korupsi bisa dicegah dan ditangani secara utuh oleh Indonesia,” kata dia.

Masalah selanjutnya yang menjadi penghambat investasi di Indonesia adalah birokrasi berbelit. Hal ini merupakan bagian integral yang tak mungkin dapat dilepaskan dari praktik korupsi.

Bahkan saking ribetnya birokrasi di Indonesia, akhirnya banyak pelaku usaha yang harus bertindak culas demi bisa mendapatkan izin usaha. Asal ada uang, izin lancar. Begitu istilahnya.

“Kemudian ada akses pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, instabilitas kebijakan, dan tumpang tindih perizinan,” kata dia.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi pada kuartal-II 2020 susut 4,3% menjadi Rp191,9 triliun dari sebelumnya Rp200,5 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Melansir data BKPM, penurunan realisasi kuartal II-2020 bahkan lebih dalam jika dibandingkan dengan capaian kuartal I-2020 senilai Rp210,7 triliun. Sehingga, penurunan realisasi terhadap kuartal pertama tahun ini mencapai 8,9%.

“Kondisi COVID-19 di kuartal II ini sangat berat, target kita harusnya Rp200 triliun,” kata Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia. (SKO)