<p>Sumber: Tren Asia</p>
Nasional & Dunia

Ekonom: Penurunan Harga Gas Industri Harus Punya Dasar

  • JAKARTA – Ekonom senior Faisal Basri menilai rencana pemerintah untuk menurunkan harga gas industri hingga USD 6 per MMBTU tidak memiliki dasar yang kuat. Menurutnya, penurunan harga gas tersebut tidak menjamin industri akan tumbuh lebih kuat. “Dasarnya menurunkan harga gas itu apa? Hitung-hitungannya dari mana sehingga harga gas industri harus 6 dolar,” ujar Faisal usai […]

Nasional & Dunia

Aprilia Ciptaning

JAKARTA – Ekonom senior Faisal Basri menilai rencana pemerintah untuk menurunkan harga gas industri hingga USD 6 per MMBTU tidak memiliki dasar yang kuat. Menurutnya, penurunan harga gas tersebut tidak menjamin industri akan tumbuh lebih kuat.

“Dasarnya menurunkan harga gas itu apa? Hitung-hitungannya dari mana sehingga harga gas industri harus 6 dolar,” ujar Faisal usai menjadi pembicara dalam sebuah diskusi yang digelar Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdhatul Ulama di Jakarta, Selasa, 25 Februari 2020.

Menurut ekonom Universitas Indonesia ini, gas mempunyai harga yang bervariasi, tergantung sumber dan lokasinya. Dengan adanya agregator, harga gas yang berbeda tersebut kemudian dijadikan satu, lalu baru bisa ditentukan nominal harga yang bisa dijangkau oleh konsumen.

“Jadi, nggak ada harga gas yang ideal. Sumbernya berbeda-beda, maka dibutuhkan agregator gas,” jelasnya.

Faisal pun tidak yakin jika penurunan harga gas industri akan berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. “Itu tidak ada urusannya, Presiden tidak mempunyai dasar yang kuat untuk rencana ini,” cetusnya.

Di samping itu, Monty Girianna, Deputi III Kementerian Bidang Perekonomian juga belum dapat menyampaikan besaran dampak ekonomi akibat penurunan harga gas industri.

“Belum ada angkanya. Masih dalam perhitungan,” ujarnya seraya bergegas meninggalkan lokasi acara yang sama.

Sebelumnya, anggota Komisi VII DPR, Ridwan Hisjam, meminta pemerintah untuk membuat mekanisme kontrol terkait rencana penurunan harga gas bumi ke sektor industri seperti tercantum dalam Perpres Nomor 40 tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi.

Hal itu dibutuhkan untuk mengukur sejauh mana nilai tambah dan kontribusi sektor industri penerima harga gas bumi tertentu terhadap perekonomian nasional. Mekanisme kontrol tersebut dapat menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk meneruskan kebijakan ini atau tidak.

“Pelaksanaan Perpres No 40 tahun 2016 dalam melakukan penyesuaian harga gas bumi untuk industri tertentu, harus dilakukan setelah adanya skema yang pasti mengenai dampak positif terhadap ekonomi nasional,” ungkap Ridwan dalam acara FGD di Ruang Pers Gedung DPR RI Senayan, Selasa, 18 Februari 2020.

Lebih lanjut, Ridwan menilai Perpres 40 tahun 2016 sejatinya memiliki tujuan agar industri dapat memberikan nilai tambah untuk mendorong perekonomian nasional. Mekanismenya dilakukan melalui pengurangan penerimaan negara dari hulu. Skema ini pada prinsipnya merupakan bentuk “subsidi” dari negara kepada industri.

Oleh karena itu, ia menambahkan, jika pemerintah ingin kembali menerbitkan Permen ESDM untuk menetapkan harga gas bumi tertentu kepada industri sesuai ketentuan, maka harus mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.

Pengurangan penerimaan bagian negara dari hulu yang tidak disertai pemulihan berupa nilai tambah, justru akan membuat defisit APBN semakin besar.

“Selain itu, pemberian subsidi harga gas ini juga harus diikuti dengan peningkatan pajak oleh sektor industri penerima subsidi,” tambahnya.

Saat ini, harga jual gas industri yang berlaku masih jauh lebih efisien dibandingkan penggunaan BBM seperti HSD dan MFO. Berdasarkan data per 20 Januari 2020 harga gas industri berkisar USD 8,87/MMBTU, sementara harga BBM industi jenis HSD, yakni Rp13.365 per liter atau setara USD 27,20 per MMBTU, dan jenis MFO sebesar Rp11.220 per liter atau setara USD 21,19 per MMBTU.

Dengan demikian, harga gas bumi industri hanya berkisar 32% dari harga HSD dan 42% dari harga MFO.

“Tanpa subsidi harga gas, sesungguhnya industri sudah mendapatkan efisiensi dibandingkan menggunakan BBM. Oleh karena itu, jika diberikan subsidi lagi, pemerintah harus bisa mengukur dampak ekonomi ke negara,” ujar Hisyam tegas.