<p>Karyawan melayani nasabah di gerai salah satu cabang Bank Mandiri, di Jakarta, Selasa, 6 April 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Ekonom Sebut Penurunan Suku Bunga Tak Efektif

  • JAKARTA – Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah Redjalam mengatakan kebijakan penurunan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) tak cukup efektif membangkitkan permintaan kredit. Ia menilai pemerintah perlu menyiapkan kebijakan lain untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan. “Anomali hubungan suku bunga acuan dan penyaluran kredit perbankan ini menyiratkan bahwa kebijakan suku bunga tidak selalu […]

Industri

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah Redjalam mengatakan kebijakan penurunan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) tak cukup efektif membangkitkan permintaan kredit.

Ia menilai pemerintah perlu menyiapkan kebijakan lain untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan.

“Anomali hubungan suku bunga acuan dan penyaluran kredit perbankan ini menyiratkan bahwa kebijakan suku bunga tidak selalu efektif dalam mendorong pertumbuhan kredit,” kata Piter dalam keterangan tertulis, Senin 31 Mei 2021.

Sejak Juni 2019 hingga Februari 2021, bank sentral sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 250 basis poin, dari 6 persen menjadi 3,5 persen. Penurunan itu dilakukan oleh BI sebanyak 9 kali, dengan 6 di antaranya dilakukan pada masa pandemi.

Sayangnya, signifikannya penurunan suku bunga acuan tak secepat turunnya suku bunga kredit perbankan. Penurunan memang sudah dilakukan, namun tetap tak secepat dan sebesar suku bunga acuan.

“Lebih buruk lagi, turunnya suku bunga acuan ternyata tidak mampu mendorong tumbuhnya penyaluran kredit perbankan,” lanjut Piter.

Hingga April 2021, pertumbuhan kredit masih terkontraksi sebesar 2,28% year on year (yoy). Berkurang dari kontraksi sepanjang 2020 yang mencapai 2,41%.

Anomali Permintaan Kredit

Berdasarkan data, seringkali peningkatan pertumbuhan kredit terjadi ketika suku bunga acuan tinggi. Pada 2018, pertumbuhan kredit meningkat menjadi 12,45 persen dari sebelumnya 8,1 persen. Itu terjadi justru ketika BI menaikkan suku bunga acuan dari 4,25 persen menjadi 6,25 persen.

Sebelumnya lagi, pada 2011, pertumbuhan kredit bisa mencapai angka tertinggi 24,59 persen justru ketika suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) masih sangat tinggi, yaitu sebesar 6,75%.

Dengan adanya anomali ini, Piter melihat penyaluran kredit sangat ditentukan oleh permintaan. Permintaan bisa meningkat apabila aktivitas sosial ekonomi tak lagi terbatasi sehingga mendongkrak konsumsi masyarakat.

Menyusul kondisi ini, sebagian bank, khususnya yang memiliki cost of fund rendah, Surat Berharga Negara (SBN) menjadi pilihan yang paling menguntungkan. Preferensi perbankan ini menurut Piter tak dapat disalahkan.

Sebab, bank lebih memilih penerimaan yang cukup guna membayar bunga kepada masyarakat pemilik dana dibandingkan menyalurkan kredit yang berisiko. Memaksakan bank menyalurkan kredit justru bisa berdampak negatif meningkatkan risiko kegagalan.

Kebijakan yang Lebih Efektif

Untuk meningkatkan penyaluran kredit perbankan, kebijakan seperti pelonggaran PPNBM kendaraan bermotor dan PPN properti justru secara langsung meningkatkan pembelian. Sehingga akan  diikuti oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan kredit perbankan.

Pemerintah juga diharapkan bisa mengembangkan kebijakan serupa untuk barang atau jasa tertentu seperti sektor pariwisata. Subsidi bisa berbentuk tiket pesawat dan atau biaya hotel/penginapan.

“Subsidi wisata akan membangkitkan kembali industri yang saat ini terpuruk, sekaligus juga memunculkan kembali kebutuhan akan modal kerja dan permintaan kredit.”

Akan tetapi ia menegaskan, kebijakan ekonomi tetap perlu diiringi dengan percepatan pelaksanaan vaksinasi dan peningkatan kedisiplinan melaksanakan protokol kesehatan.