Ekonomi Digital Indonesia 2025: Peluang Besar dan Tantangan yang Perlu Diatasi
- Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital CELIOS, menjelaskan proyeksi pertumbuhan sektor ekonomi digital hingga tahun 2025. Beberapa sektor utama yang menjadi perhatian meliputi perdagangan daring (e-commerce), transportasi online, pembayaran digital, pinjaman digital, dan perjalanan daring (online travel).
Fintech
JAKARTA - Transformasi digital yang semakin cepat telah memberikan dampak besar terhadap berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam perekonomian global.
Saat ini, ekonomi digital menjadi salah satu pilar utama pembangunan ekonomi di berbagai negara. Kehadirannya tidak hanya mengubah cara berbisnis, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan membuka peluang kolaborasi serta inovasi.
Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh CELIOS berjudul Indonesia Digital Economy Outlook 2025 memberikan pandangan tentang proyeksi ekonomi digital di masa depan sekaligus tantangan yang perlu diatasi demi memaksimalkan potensinya.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Digital
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Dgital CELIOS, menjelaskan proyeksi pertumbuhan sektor ekonomi digital hingga tahun 2025. Beberapa sektor utama yang menjadi perhatian meliputi perdagangan daring (e-commerce), transportasi online, pembayaran digital, pinjaman digital, dan perjalanan daring (online travel).
Proyeksi ini dihitung menggunakan model ARIMA yang dianggap efektif dalam menganalisis pola temporal data seperti Produk Domestik Bruto (PDB) dan indikator ekonomi lainnya.
- IDLIX Hingga LK21 Ilegal, Berikut 7 Alternatif Nonton Film Legal
- Mengapa Home Alone Selalu Diputar Saat Natal dan Tahun Baru?
- Mengenal 6 Tradisi Merokok yang Unik dari Penjuru Dunia
Dalam analisisnya, sektor perdagangan daring diprediksi akan mengalami peningkatan. Pada tahun 2024, nilai transaksi e-commerce diperkirakan mencapai Rp468,6 triliun, meningkat sebesar 3% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp453,7 triliun.
“Sayangya, pada tahun 2025 mendatang, sektor perdagangan daring diprediksikan hanya meningkat 0,5 persen menjadi Rp471 triliun. Keadaan ini disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat dan potensi kenaikan tarif PPN yang membuat masyarakat menahan daya beli,” ujar Nailul melalui hasil riset CELIOS, dikutip Senin, 23 Desember 2024.
Nailul Huda menyebut bahwa perlambatan ini dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat serta potensi kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mendorong masyarakat untuk menahan konsumsi.
Di sisi lain, sektor transportasi daring menunjukkan pemulihan yang stabil. Nailul memperkirakan nilai transaksi sektor ini akan mencapai Rp12,66 triliun pada 2025, yang didukung oleh pembukaan peluang kerja baru dan optimisme pasar digital.
Hal serupa juga terlihat pada sektor perjalanan daring, dengan nilai transaksi diperkirakan meningkat dari Rp11,77 triliun pada 2024 menjadi Rp12,37 triliun pada 2025, atau naik sebesar 5,1%.
Kemajuan Pesat Pembayaran dan Pinjaman Digital
Pembayaran digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Pada 2025, nilai transaksi pembayaran digital diperkirakan mencapai Rp2.908,59 triliun, meningkat tajam dari Rp2.491,68 triliun pada 2024, atau sekitar 16,73%.
Nailul Huda juga mencatat lonjakan besar dalam pinjaman daring. Pada 2021, nilai pembiayaan pinjaman daring mencapai Rp153,35 triliun, naik dari Rp74,41 triliun pada 2020. Proyeksi ke depan menunjukkan peningkatan signifikan hingga mencapai Rp365,70 triliun pada 2025.
Rani Septya, Peneliti Ekonomi Digital CELIOS, menambahkan bahwa lonjakan ini mencerminkan kepercayaan yang semakin kuat terhadap layanan pinjaman digital.
Faktor-faktor seperti penetrasi teknologi, regulasi yang mendukung, dan kolaborasi antara institusi keuangan tradisional dan platform fintech menjadi pendorong utama.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa risiko seperti kredit macet dan ketergantungan pada teknologi tetap harus diantisipasi untuk menjaga keberlanjutan sektor ini.
Tantangan Menghadapi Transformasi Ekonomi Digital
Meski pertumbuhan ekonomi digital terlihat menjanjikan, tantangan yang dihadapi Indonesia tidak dapat diabaikan. Dyah Ayu, salah satu peneliti CELIOS, menyebutkan bahwa penurunan investasi di sektor digital menjadi salah satu isu utama.
Fenomena ini bahkan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dikenal sebagai “tech winter”. Kontribusi Indonesia terhadap total investasi digital di Asia Tenggara turun dari 38% pada 2020 menjadi 25% pada paruh pertama 2022, meski tetap menjadi tujuan investasi terbesar kedua setelah Singapura.
Selain itu, Vietnam dan Filipina mulai muncul sebagai pesaing serius di kawasan, didukung oleh stabilitas regulasi, pertumbuhan ekonomi digital yang konsisten, dan penetrasi teknologi yang lebih baik.
Tantangan Kualitas Sumber Daya Manusia
Rani Septya menyoroti tantangan lain dalam bentuk kesiapan sumber daya manusia (SDM). Dengan skor Human Capital Index (HCI) sebesar 0,54 pada 2020, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara seperti Vietnam (0,69), Malaysia, Thailand, dan China.
Kualitas pendidikan dan pelatihan tenaga kerja yang stagnan menjadi salah satu hambatan utama. Selain itu, dalam Global Digital Competitiveness Index, Indonesia juga tertinggal dari Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Ketertinggalan ini mencerminkan rendahnya kualitas modal manusia yang menghambat daya saing di pasar global. Oleh karena itu, peningkatan sistem pendidikan dan pengembangan keterampilan menjadi hal yang mendesak untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja modern.
- Saham PANI Anjlok, Deretan Broker Ini Malah Ambil Kesempatan Serok
- Saham GOTO dan ADRO Perkasa di Pembukaan LQ45 Hari Ini
- Di Tengah Fluktuasi IHSG, Saham BBRI, EXCL hingga GOTO Bisa Jadi Peluang Menarik di 2025
Ketimpangan Infrastruktur dan Keamanan Digital
Ketimpangan infrastruktur digital juga menjadi tantangan serius. Hingga Juli 2024, penyaluran pinjaman daring di luar Pulau Jawa hanya mencapai Rp188,45 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan Pulau Jawa yang mencapai Rp737,31 triliun.
Menurut Rani, ketimpangan ini disebabkan oleh infrastruktur digital yang belum merata, rendahnya literasi keuangan, serta akses terbatas terhadap informasi dan edukasi terkait fintech di luar Jawa.
Keamanan siber juga menjadi perhatian penting. Indonesia berada di peringkat ke-48 dalam National Cyber Security Index dengan skor 63,64, di bawah rata-rata global sebesar 67,08 poin.
Nailul Huda menyoroti bahwa meskipun regulasi telah disahkan dan teknologi baru seperti blockchain mulai diadopsi, infrastruktur keamanan siber yang belum merata dan tingginya insiden serangan siber tetap menjadi masalah besar.