Ekonomi Digital Menguat, Perlindungan Data Pribadi Masih Lemah
JAKARTA—Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia dinilai berotensi mengalami peningkatan. Namun, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan bahwa perlindungan data pribadi masih belum memadai untuk konsumen ekonomi digital. “Padahal perlindungan data pribadi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perlindungan konsumen. Hal ini dikarenakan peran data sebagai bagian dari transaksi antara konsumen dan […]
Nasional & Dunia
JAKARTA—Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia dinilai berotensi mengalami peningkatan. Namun, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan bahwa perlindungan data pribadi masih belum memadai untuk konsumen ekonomi digital.
“Padahal perlindungan data pribadi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perlindungan konsumen. Hal ini dikarenakan peran data sebagai bagian dari transaksi antara konsumen dan pelaku usaha atau penyedia jasa,” jelas Ira dalam keterangan yang diterima TrenAsia.com, Selasa, 21 Juli 2020.
Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia dinilai berotensi mengalami peningkatan. Laporan yang diterbitkan oleh Google dan Temasek pada 2019 mengungkapkan, pengguna aktif transaksi digital di Asia Tenggara mencapai 150 juta. Peningkatan ini tiga kali lipat dari jumlah pada tahun 2015.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Di samping itu, laporan tersebut turut menjelaskan bahwa ekonomi internet Asia Tenggara bakal mencapai US$300 miliar di 2025. Sementera itu, Indonesia menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan tertinggi di wilayah tersebut dengan peningkatan 40% per tahun, bersama-sama dengan Vietnam.
Ira memaparkan, banyak dari perangkat digital merekam data konsumen seperti nama lengkap, alamat, bahkan hingga informasi kartu tanda penduduk (KTP). Di satu sisi, data dapat membantu perangkat digital mengoptimalkan pelayanannya untuk konsumen.
“Namun di sisi lain, data ini juga bisa dieksploitasi oleh oknum tidak bertanggung jawab,” papar dia.
Laporan Global Data Protection Index 2020 oleh Dell Technologies menyebutkan, sebanyak 82% organisasi Teknologi Informasi (TI) mengalami kejadian disruptif pada 2019, seperti downtime, kehilangan data, serangan siber dan lain-lain. Angka ini naik dari 76% pada 2018.
Menurut Ira, lemahnya kerangka kebijakan dan implementasi perlindungan data pribadi membuat konsumen bergantung pada tindakan bisnis bertanggung jawab (responsible business conduct) yang dilakukan secara mandiri (self-regulatory).
“Contohnya adalah penandatanganan kode etik bersama oleh tiga asosiasi fintech (Aftech, AFPI, dan AFSI) pada September 2019 terkait perlindungan konsumen, perlindungan privasi dan data pribadi, mitigasi risiko siber, dan mekanisme minimal penangananan aduan konsumen dan lain-lain,” jelasnya.