Ekonomi Hijau Terus Tumbuh, Potensi Ciptakan 19,4 Juta Lapangan Kerja
- Pengembangan ekonomi hijau di Indonesia berpotensi menambah serapan tenaga kerja hingga 19,4 juta orang dalam 10 tahun mendatang. Pertanian, kehutanan dan perikanan menjadi sektor yang mengalami peningkatan tenaga kerja terbanyak, mencapai 3,9 juta tenaga kerja.
Energi
JAKARTA—Pengembangan ekonomi hijau di Indonesia berpotensi menambah serapan tenaga kerja hingga 19,4 juta orang dalam 10 tahun mendatang. Pertanian, kehutanan dan perikanan menjadi sektor yang mengalami peningkatan tenaga kerja terbanyak, mencapai 3,9 juta tenaga kerja.
Hal itu diungkap dalam laporan Greenpeace dan Celios berjudul "Dampak Transisi Ekonomi Hijau terhadap Perekonomian, Pemerataan, dan Kesejahteraan Indonesia”. “Penyerapan tenaga kerja berasal dari kegiatan langsung pada pembangunan ekonomi hijau dan sektor lain yang menunjang,” demikian isi laporan tersebut, dikutip Rabu, 3 April 2024.
Dalam laporan, pekerjaan di sektor energi bersih sudah lebih banyak dibandingkan sektor energi fosil sejak 2021 secara global. Medio 2019–2022, angka pekerja di sektor energi bersih meningkat 15%.
Sementara sektor energi fosil mengalami penurunan 4% di tahun yang sama. “Pada 2023, jumlah tenaga kerja di sektor energi bersih diproyeksi akan mencapai lebih dari 36 juta orang,” imbuh laporan itu.
Baca Juga: Aturan Baru Sektor Energi Dinilai Pukul Komitmen Transisi
Ekonomi hijau adalah pembangunan ekonomi dengan paradigma mendorong transisi energi yang lebih bersih atau menjauhkan dari batubara maupun energi fosil. Sementara itu, riset nasional menunjukkan upaya PLN melakukan transisi energi bersih dapat menciptakan 2,12 juta tenaga kerja langsung, 800 ribu tenaga kerja tidak lagsung, dan 890 ribu tenaga kerja hingga 2030.
Adapun Kajian Bappenas dan UNDP pada 2022 memproyeksi ekonomi hijau bakal menciptakan 4,4 juta lapangan kerja pada 2030, 75% di antaranya untuk perempuan. Potensi itu bakal fokus diterapkan di lima sektor, yakni makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, perdagangan grosir dan eceran, serta peralatan elektronik.
Tak hanya menyerap tenaga kerja, transisi ekonomi hijau dapat menurunkan ketimpangan pendapatan per kapita di Tanah Air. Studi Celios dan Greenpeace yang menggunakan Indeks Williamson menerangkan rentang ketimpangan tersebut.
Pada tahun pertama, Indeks Williamson menunjukkan angka 0,74 namun bisa ditekan hingga 0,65 pada tahun ke-10. Semakin besar angkanya, semakin luas ketimpangan pendapatan per kapita.
Jejak Karbon
Lebih lanjut, ketimpangan di Indonesia juga terjadi pada jejak karbon. Sebagai informasi, kelompok terkaya 10% dan 1% menghasilkan lebih banyak karbon dari seluruh populasi. World Inequality Report 2022 menghitung total jejak karbon Indonesia adalah 3,3 ton CO2e per kapita.
Dari angka tersebut, 50% termiskin menghasilkan 1,4 ton CO2e per kapita, kelompok 10% terkaya menghasilkan 11,8 ton CO2e per kapita, dan 1% kelompok menghasilkan jejak karbon yang lebih timpang dengan angka 42,2 ton CO2e per kapita.
Laporan Celios dan Greenpeace menyebutkan masalah itu terjadi akibat ketimpangan konsentrasi penguasaan energi fosil di dunia. “Sebanyak 90% energi fosil baik dari batu bara, minyak, dan gas hanya dikuasai 12 negara, sedangkan energi terbarukan lebih merata dengan 58 negara menguasai 70% sumber daya,” demikian terang laporan tersebut.