Ekonomi RI Bangkit, IHSG dan Indeks LQ45 Kuartal II-2021 Diramal Melejit
Kinerja pasar modal Indonesia diproyesikan bakal semakin moncer dalam beberapa waktu ke depan. Hal ini tentu menimbulkan asumsi kuat akan terjadinya perbaikan ekonomi di dalam negeri.
Bursa Saham
JAKARTA – Kinerja pasar modal Indonesia diproyeksikan bakal semakin moncer dalam beberapa waktu ke depan. Hal ini tentu menimbulkan asumsi kuat akan terjadinya perbaikan ekonomi di dalam negeri.
CEO Finvesol Consulting Fendy Susianto menilai outlook perekonomian global dan Indonesia pada kuartal II-2021 masih bertumbuh positif meskipun dengan tingkat ketidakpastian yang masih relatif tinggi.
“Kami melihat bahwa kondisi investasi Indonesia di kuartal II-2021 akan memiliki profil high growth but high risk,” ujarnya kepada TrenAsia.com, Selasa 4 Mei 2021.
- IHSG Masih Konsolidasi Usai Rilis BI Rate, Simak Saham EMTK, LSIP, ZYRX, dan WIKA
- Saham Pilihan Mirae Sekuritas Juni 2021: BBRI Ditendang Diganti PRDA, Temani ANTM hingga INCO
- IHSG Terancam Bearish Jelang Rilis BI Rate, Rekomendasi Saham AALI, SMRA, BNGA, dan GGRM
Ia memproyeksikan pasar modal Indonesia bertumbuh positif dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpeluang besar kembali menuju level 6.300 pada periode kali ini.
Secara teknikal, IHSG mampu bertahan pada level support 5.800, suatu level psikologis pada fibonacci retracement 38,2% dan berada di atas garis tren jangka panjang.
“Target penguatan IHSG secara teknikal, apabila mampu bertahan di atas level 6.000 adalah 6.300 hingga 6.880 hingga akhir tahun 2021,” papar pria yang akrab disapa OmFin ini.
Secara fundamental, lanjutnya, IHSG memiliki harga instrinsic 6.619 untuk 12 bulan ke depan. Dengan asumsi laba bersih per saham (earning per share/EPS) untuk seluruh emiten penyusun IHSG sebesar Rp432,1.
“Hal ini mencerminkan 13,9 kali PER saat ini dan pertumbuhan EPS antara 10-25 persen dalam lima tahun ke depan,” imbuhnya.
Kinerja Emiten LQ45
Sejumlah emiten Indeks LQ45 mulai merilis laporan kinerja keuangan untuk periode kuartal I-2021. Secara kuartalan, pendapatan serta laba bersih sebagian besar emiten berkapitalisasi pasar jumbo tersebut bertumbuh, meskipun secara tahunan masih banyak emiten yang mengalami pelemahan.
Berdasarkan data yang dihimpun TrenAsia.com per 4 Mei 2021, setengah dari 22 emiten konstiuen LQ45 mengalami kenaikan pendapatan sepanjang triwulan pertama tahun ini dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Sedangkan, 11 emiten membukukan kenaikan laba bersih secara tahunan.
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
- Pemberdayaan Perempuan di Perusahaan Jepang Masih Alami Krisis Pada Tahun 2021
PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) tercatat sebagai emiten dengan kenaikan pendapatan paling tinggi di jajaran konstituen LQ45, yakni sebesar 77,04% year-on-year (yoy). Sebaliknya, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mengalami penurunan pendapatan paling dalam mencapai 22,01% yoy pada triwulan I-2021.
Sementara itu, pencapaian gemilang dari segi keuntungan dicatat oleh PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) yang sukses mengubah posisi rugi bersih US$17,84 juta pada kuartal I-2020, menjadi laba bersih hingga US$84,38 juta. Di sisi lain, penurunan persentase laba bersih ditempati oleh PT XL Axiata Tbk (EXCL) hingga 78,91% yoy.
OmFin melihat beberapa sektor yang prospektif pada kuartal kedua 2021, di antaranya sektor perbankan, pertambangan, telekomunikasi dan infrastruktur, sektor perdagangan, serta sektor manufaktur.
Valuasi Obligasi Kuartal Kedua 2021
OmFin turut meyakini bahwa tren kenaikan yield US treasury notes (imbal hasil obligasi Amerika Serikat) berjangka 10 tahun tidak memberikan dampak pada naik drastisnya yield obligasi jangka panjang Indonesia. Sedangkan, nilai tukar rupiah diprediksi bergerak pada rentang Rp14.150 – Rp14.900 per dolar AS pada kuartal II-2021.
Sepanjang kuartal II-2021, ia memproyeksikan pergerakan yield obligasi Indonesia 10 tahun akan terbatas pada rentang 6,2% hingga 7,0%. Baginya, hal ini seiring dengan masih lebarnya yield spread antara AS dan Indonesia yang berkisar 4,5% hingga 6% mampu menahan gejolak kenaikan obligasi AS.
- Tidak Mampu Bayar Kupon Global, BEI Gembok Saham Garuda Indonesia
- Basis Investor Ritel Menguat, Kemenkeu Optimis SBN Ritel Diburu Investor
- 23 Perusahaan Antre IPO: Pak Erick, Masih Belum Ada BUMN di Daftar BEI
Dengan gambaran tersebut, OmFin berpendapat bahwa kondisi outlook makroekonomi global berdasarkan perkembangan penanganan COVID19 serta memperhatikan pertumbuhan pasar, maka memberikan peluang bagi pertumbuhan pasar saham, obligasi dan reksa dana.
“Ini sesuai dengan valuasi IHSG, valuasi obligasi, dan reksa dana. Kami juga concern pada risiko yang cenderung akan meningkat sepanjang periode kuartal II-2021,” pungkasnya. (SKO)