Ilustrasi asuransi.
IKNB

Ekonomi Tidak Pasti, Asuransi Tradisional Lebih Diminati Ketimbang Unit Link

  • Direktur AXA Mandiri Rudi Nugraha menyebutkan, pandemi menjadi salah satu momentum yang menggeser preferensi masyarakat dalam membeli produk asuransi.
IKNB
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA – Saat dunia  dilanda oleh ketidakpastian ekonomi, produk asuransi tradisional lebih diminati pasar ketimbang produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) alias unit link

Direktur AXA Mandiri Rudi Nugraha menyebutkan, pandemi menjadi salah satu momentum yang menggeser preferensi masyarakat dalam membeli produk asuransi.

Dikatakan olehnya, sebelum pandemi, produk asuransi unit link lebih diminati oleh masyarakat ketimbang tradisional. Namun, setelah pandemi, produk asuransi tradisional jadi lebih diminati dibanding unit link.

Setelah pandemi, minat masyarakat secara berangsur-angsur bergeser. Pada tahun 2021, porsi pembelian unit link di AXA Mandiri tercatat sebesar 54%., namun, porsinya terus menyusut. Hingga pada akhir 2023, porsi unit link yang dibukukan oleh AXA Mandiri berada di angka 34%.

“Orang-orang sekarang lebih meminati program asuransi tradisional yang berikan manfaat pasti. Kalau di unit link, untuk investasinya sendiri masih ‘naik-turun’ apalagi kondisi sekarang yang tidak menentu,” papar Rudi kepada wartawan saat ditemui di Jakarta, Selasa, 14 Mei 2024.

Walaupun produk asuransi tradisional kini lebih diminati oleh masyarakat, namun AXA Mandiri tetap mengupayakan keberimbangan antara penjualan unit link dan asuransi tradisional.

“Di AXA, kami punya seluruh opsi. Kami jual dengan lihat data analitik, nasabah mana yang cocok beli produk tradisional, dan nasabah mana yang lebih cocok dengan unit link,” kata Rudi.

Tiga Faktor Ketidakpastian Ekonomi Global

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini mengungkapkan beberapa risiko dan ketidakpastian ekonomi global yang dapat mempengaruhi ekonomi Indonesia pada tahun 2024. 

Sri Mulyani menyatakan bahwa ketidakpastian global dan risiko masih sangat tinggi, terlihat dari berbagai faktor. Faktor pertama adalah kebijakan suku bunga tinggi yang diperkirakan akan bertahan lama.

Menurutnya, pasar mengharapkan penurunan suku bunga dalam waktu dekat, tetapi kenyataannya suku bunga masih tetap tinggi untuk jangka waktu yang lama.

“Likuiditas global masih akan ketat dan aliran dana ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan terpengaruh,” papar Sri Mulyani di Rapat Kerja Komisi XI DPR RI beberapa waktu lalu.

Faktor kedua adalah meningkatnya tensi geopolitik yang menciptakan ketidakpastian dalam berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan, seperti perdagangan.

Dengan demikian, proteksionisme yang semakin tinggi dan investasi yang terganggu tentu akan mempengaruhi kinerja ekonomi global.

Faktor ketiga adalah tantangan digitalisasi, perubahan iklim, dan demografi. Saat ini, kecenderungan penuaan populasi terutama di negara maju memberikan dampak yang sangat merusak.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menambahkan bahwa perkembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) kini menjadi risiko global urutan kedua pada 2024 sementara perubahan iklim menjadi risiko terbesar.