Ekosistem Riset Hadapi Segudang Masalah, Kepala BRIN: Dana Riset Jauh di Bawah Malaysia
- Jumlah peneliti di Indonesia menurut Handoko, masih jauh tertinggal dengan rasio 216 peneliti per satu juta penduduk, jauh di bawah standar UNESCO yang menetapkan 1.000 peneliti per satu juta penduduk. Sebagai perbandingan, Malaysia memiliki lebih dari 2.800 peneliti per satu juta penduduk dan ekosistem riset yang lebih mapan.
Nasional
JAKARTA - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, mengungkapkan sejumlah tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam membangun ekosistem riset yang kompetitif di tingkat global.
Menurutnya, peningkatan kualitas dan kuantitas riset menjadi kebutuhan mendesak agar Indonesia mampu bersaing di era inovasi yang berkembang pesat.
Untuk mempercepat pembangunan ekosistem riset, menurut Handoko, pemerintah kini gencar mendorong fasilitasi penelitian, termasuk menggalakkan kolaborasi dengan sektor swasta dan memacu pengembangan produk berbasis riset. Laksana Tri Handoko menekankan perlunya adopsi model pengelolaan riset yang lebih efisien seperti yang diterapkan di negara-negara maju.
""Tujuan utama kita adalah meningkatkan aktivitas riset di sektor swasta, dengan memanfaatkan anggaran pemerintah sebagai enabler (alat) untuk memfasilitasi pengembangan produk berbasis riset," papar Handoko kala memberi penjelasan saat diwawancari Helmi Yahya, di channel YouTube Helmy Yahya Bicara, dikutip Selasa, 21 Januari 2024.
Peningkatan ekosistem riset di Indonesia tercermin dalam peringkat Indonesia di Global Innovation Index (GII) yang dikeluarkan oleh Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO), di mana posisi Indonesia naik dari 85 menjadi 54. Namun, ia menggarisbawahi bahwa capaian ini belum cukup untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain di kawasan.
"Peringkat kita di Global Innovation Index (GII) itu 85 terus, naik 75, naik jadi 61, naik 54 sekarang kita udah diangka 54, memang belum baik, yang terpenting kita harus paham kalau kita masih tertinggal," terang Handoko.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah kurangnya kesempatan kerja yang sesuai bagi peneliti yang kembali ke tanah air setelah menimba ilmu di luar negeri, sehingga banyak talenta unggul belum dapat dimaksimalkan untuk mendukung inovasi nasional.
Handoko mencontohkan China yang dulu tertinggal, namun kini berhasil maju dengan menyekolahkan siswa-siswanya ke luar negeri dan kemudian memberikan opsi untuk pulang serta mendukung riset dan industri di dalam negeri. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia diharapkan dapat mengejar ketertinggalan dalam bidang riset dan berkompetisi di tingkat global.
- 17 Kebijakan Baru Trump yang Kontroversial: Eksplorasi Mars hingga Perang Ukraina
- Sri Mulyani Tambah 2 Dirjen dan Bentuk 1 Badan Baru
- Melihat Kekayaan Bersih Donald Trump yang Kini Jadi Presiden AS
Tantangan Kemajuan Riset di Indonesia
Handoko menyoroti perubahan dinamika pendidikan tinggi di kawasan Asia Tenggara, di mana saat ini Indonesia lebih banyak mengirimkan mahasiswa ke Malaysia untuk melanjutkan studi, dibandingkan beberapa dekade lalu ketika dosen-dosen Indonesia justru dikirim ke Malaysia.
Kondisi ini, jelasnya, merupakan dampak dari ketimpangan dalam pengembangan program pendidikan pascasarjana. Malaysia telah secara konsisten menggencarkan program S2 dan S3 sejak tahun 1990-an, sementara Indonesia baru mulai mengembangkan inisiatif serupa pada awal tahun 2000-an.
"Dulu kita mengirim dosen ke Malaysia, tapi sekarang justru mengirim mahasiswa ke sana. Apa yang salah? Dulu tahun 2000-an kampus yang menawarkan S2 belum banyak, padahal riset yang mendorong itu mahasiswa S2-S3," tambah Handoko.
Jumlah peneliti di Indonesia menurut Handoko, masih jauh tertinggal dengan rasio 216 peneliti per satu juta penduduk, jauh di bawah standar UNESCO yang menetapkan 1.000 peneliti per satu juta penduduk. Sebagai perbandingan, Malaysia memiliki lebih dari 2.800 peneliti per satu juta penduduk dan ekosistem riset yang lebih mapan.
Indonesia diketahui hanya mengalokasikan 0,23% dari PDB untuk riset dan pengembangan, sedangkan Malaysia mengalokasikan sekitar 1,44%. Handoko juga menyebut dana BRIN hanya dialokasikan Rp7 triliun jumlah tersebut tergolong kecil dibandingkan APBN yang jumlahnya mencapat Rp3000 triliun.
Keberhasilan Malaysia dalam riset didorong oleh investasi besar dan kolaborasi erat antara universitas, industri, dan pemerintah. Untuk mengejar ketertinggalan, Indonesia dinilai harus membangun ekosistem riset yang solid, meningkatkan kualifikasi peneliti, dan menyediakan take home pay yang kompetitif agar mahasiswa Indonesia yang belajar diluar negeri tertarik untuk pulang ke Indonesia.
Menurut Handoko, idealnya peneliti baru yang pulang dari luar negeri harus mendapatkan setidaknya Rp13 juta per bulan, setara dengan standar di Malaysia, walaupun angka tersebut juga masih tergolong standar.
“Saat ini, untuk yang baru mulai bekerja, mungkin pada tahun pertama atau bulan pertama gaji yang diterima sekitar 13 juta, sudah termasuk tunjangan kinerja (tukin) dan sudah net,” terang Handoko.
- 17 Kebijakan Baru Trump yang Kontroversial: Eksplorasi Mars hingga Perang Ukraina
- Sri Mulyani Tambah 2 Dirjen dan Bentuk 1 Badan Baru
- Melihat Kekayaan Bersih Donald Trump yang Kini Jadi Presiden AS
Perlu Belajar dari Sejarah
Handoko juga mengingatkan pentingnya belajar dari sejarah. Pada tahun 50-an, Indonesia menurut Handoko, mengusir banyak orang Belanda dari kampus meski orang terdidik lokal belum siap. Akibatnya pada era itu negara kekurangan orang-orang terdidik untuk mengembangkan inovasi dan teknologi.
Hal yang sama terjadi kembali pada tahun 60-an, banyak intelektual terutama yang kuliah di Eropa Timur tak dapat pulang ke Indonesia akibat peristiwa G30S/PKI. Akibatnya negara kehilangan talenta terbaik bangsa yang memperloeh pendidikan tinggi di kampus dunia.
“Pada tahun 1950-an, karena mohon maaf, kita terlalu nasionalis, kita mengusir orang-orang Belanda dari kampus, meskipun sebenarnya kita belum sepenuhnya siap. Kemudian,” jelas Handoko.
Handoko menegaskan Indonesia perlu membangun ekosistem profesional yang mendukung talenta unggul. BRIN harus berorientasi pada talenta muda dan menunjukkan bahwa Indonesia mampu memfasilitasi sukses profesional. Negara harus hadir memberikan opsi kepada anak muda untuk kembali dan berkarya di tanah air.