Nasional

Eks Dirut Krakatau Engineering Diperiksa Kejagung Terkait Kasus Korupsi Proyek Blast Furnace

  • Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan pemeriksaan terhadap Mantan Direktur Utama PT Krakatau Engineering berinisial MWES terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan Pabrik Blast Furnace Complex (BFC) oleh PT Krakatau Steel tahun 2011.
Nasional
Nadia Amila

Nadia Amila

Author

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan pemeriksaan terhadap Mantan Direktur Utama PT Krakatau Engineering berinisial MWES terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan Pabrik Blast Furnace Complex (BFC) oleh PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. tahun 2011.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan, MWES diperiksa terkait penandatanganan kontrak adendum ketiga pada Agustus 2017.

“MWES diperiksa terkait penandatanganan kontrak adendum ketiga pada Agustus 2017 dengan perusahaan kontraktor asal Cina, Capital Engineering and Research and Research Incorporation Limited (MCC CERI),” kata Ketut dalam keterangan resmi yang diterima pada Rabu, 29 Juni 2022.

Ketut juga mengatakan, MWES melakukan kebijakan lain di mana ia menandatangani kontrak dengan MCC CERI untuk pekerjaan Change Order pada Local Portion senilai Rp241,14 miliar sehingga jumlah total nilai kontrak BFC Project senilai Rp2,251 triliun.

“Untuk pekerjaan Change Order pada Local Portion senilai Rp241.145.409.190 sehingga jumlah total nilai kontrak BFC Project sebesar Rp2.215.424.762.190,” kata Ketut.

Kemudian, pada 19 September 2017 MWES menerbitkan Surat Keputusan Direksi untuk Pengoperasian COP sebelum adanya serah terima pekerjaan dan pada 9 Oktober 2017. Selanjutnya, pada 14 Februari 2018 dan pada 29 Agustus 2018 melakukan penandatangan Perjanjian Bridging Loan dengan PT KE dengan jumlah pinjaman baru senilai Rp31,729 miliar.

“Sehingga jumlah total Bridging Loan yang belum terbayar pada saat yang bersangkutan sebagai Direktur Utama PT Krakatau Engineering sebesar Rp359.253.825.965,” tambahnya.

Tim penyidik selain melakukan pemeriksaan pada eks dirut Krakatau Engineering, penyidik juga memeriksa dua orang lainnya yaitu, Staf pada Bisnis Development PT Krakatau Steel berinisial RH yang diperiksa untuk menjelaskan penyerahan HPS dari Tirta Dirja ke Ketua Pengadaan HPS/OE.

Kemudian, General Manager Planning & Bisnis Development PT Krakatau Steel berinisial TD. Ia diperiksa untuk menjelaskan mekanisme penentuan HPS/OE untuk proyek Blast Furnace Complex KS saat ia menjabat sebagai Manager Corporate Planning and Business Development PT Krakatau Steel Januari 2008 sampai Oktober 2011.

Terakhir, pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Proyek Pembangunan Pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011.

Sebelumnya, pada kasus ini penyidik telah menaikan status menjadi penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan dari Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-14/F.2/Fd.2/03/2022 tanggal 16 Maret 2022.

Usut punya usut, kasus ini berawal dari Pembangunan Pabrik BFC oleh KRAS pada 2011-2019 menggunakan bahan bakar batu bara untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah dibanding dengan menggunakan bahan bakar Gas yang biaya produksinya jauh lebih mahal.

Kemudian, pada 31 Maret 2011 dilakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik BFC dan dimenangkan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering. Awalnya pendanaan biaya pembangunan pabrik BFC ini ditanggung oleh Bank Export Credit Agency (ECA) dari China.

Namun pada pelaksanaannya ECA tidak menyetujui pembiayaan proyek karena kinerja keuangan Krakatau Steel tidak memenuhi syarat. Kemudian, pihak Krakatau Steel mengajukan pinjaman sindikasi ke Bank BRI, Mandiri, CIMB, ICBC, BNI, OCBC, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

Pada 19 Desember 2019, pekerjaan pun dihentikan karena pekerjaan belum 100% dan operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasaran. Pekerjaan pun belum melakukan serah terima dengan kondisi tidak dapat beroperasi alias mangkrak.

Berdasarkan hal tersebut diindikasi adanya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.