Ekspor CPO dan Batu Bara Melonjak, Surplus Perdagangan Cetak Rekor 18 Bulan
- BPS mencatat ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan batu bara pada Oktober 2021 tumbuh sangat tinggi dibandingkan dengan tahun lalu.
Nasional
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor batu bara dan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) pada Oktober 2021 tumbuh sangat tinggi dibandingkan dengan tahun lalu.
Tingginya ekspor kedua komoditas unggulan tersebut turut mengerek surplus neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2021 menjadi US$5,73 miliar setara Rp81,37 triliun (asumsi kurs Rp14.200 per dolar Amerika Serikat).
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan ekspor sawit tumbuh sebesar 76,54% year on year (yoy) dan batu bara sebesar 198,76% yoy. Secara sektoral, ekspor minyak sawit berkontribusi 18,54% terhadap ekspor industri pengolahan, dan menjadi yang tertinggi di sektor tersebut.
- Pendapatan Delta Dunia (DOID) Milik Grup Northstar Naik, Tapi Rugi Makin Dalam
- Menakar Kelayakan BTN dalam Menerima Suntikan PMN Rp1,98 Triliun pada 2022
- IPO Mitratel Tetapkan Harga Tengah, Porsi Penerbitan Saham Dikurangi
"Sektor industri pengolahan, komponen terbesar minyak kelapa sawit 18,54% persen dari ekspor di Oktober. Kemudian besi dan baja 14,62 persen, kimia dasar organik dari hasil pertanian 3,74 persen," ujar Margo, dalam konferensi pers, Senin, 15 November 2021,
Secara month to month (mtm), Margo menyebut, ekspor sawit juga yang paling besar, yakni tumbuh 22,54% dibandingkan dengan September 2021. Kemudian, diikuti besi dan baja 12,72% dan timah sebesar 3,29%.
Sementara itu, ekspor batu bara secara bulanan tercatat tumbuh 21,39%, tetapi lebih kecil dari ekspor bijih logam lainnya sebesar 185,95%.
Margo mengungkapkan kenaikan harga komoditas termasuk CPO di pasar global juga menyumbang pencapaian neraca perdagangan selama 1,5 tahun ke belakang.
"Ini kalau kita lihat secara tren, Indonesia telah membukukan (surplus pedagangan) selama 18 bulan beruntun. Komoditas penyumbang terbesar dari bahan bakar mineral, minyak dan lemak nabati dan hewan, serta besi dan baja," kata Margo.
Lebih lanjut, Margo menyebutkan, secara umum nilai ekspor sektor industri pengolahan mencapai US$16,07 miliar, pertambangan dan lainnya US$4,53 miliar, kemudian pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar US$410 juta.
"Ekspor non migas menyumbang 95,35 persen terhadap total ekspor," kata Margo.
Sementara itu, nilai ekspor minyak dan gas (migas) tercatat mencapai US$1,03 miliar, naik 9,91% mtm atau 66,84% yoy, sedangkan non migas sebesar US$21 miliar atau naik 6,75% mtm atau 52,7% yoy.
Secara keseluruhan, nilai ekspor pada Oktober mencapai US$22,03 miliar, naik 6,89% dibandingkan dengan September 2021. Nilai ekspor ini tumbuh 53,35% dari tahun lalu hanya US$14,36 miliar.
Menurut tahun kalender, ekspor Januari-Oktober 2021 tercatat mencapai US$186,32 miliar atau naik 41,8% yoy, sedangkan ekspor non migas naik 41,26% menjadi US$176,47 miliar.
Sementara itu, nilai impor Indonesia pada Oktober 2021 mencapai US$16,29 miliar. Nilai impor ini naik 0,36% mtm atau naik 51,06% yoy. Impor migas tercatat mencapai US$1,99 miliar sedangkan impor non migas US$14,39 miliar.
Untuk tahun kalender, impor Januari-Oktober mencapai US$155,51 miliar, naik 35,86% yoy, dan khusus untuk impor non migas mencapai US$136,38 miliar, naik 32,7%.
Surplus Selama 18 Bulan Beruntun
Margo mengatakan kinerja ekspor dan impor selama 1,5 tahun terakhir terus menunjukkan tren positif. Bahkan, selama 18 bulan beruntun, Indonesia berhasil mencetak rekor surplus neraca perdagangan.
Pada Oktober, surplus perdagangan Indonesia mencapai US$5,73 miliar setara Rp81,37 triliun (asumsi kurs Rp14.200 per dolar Amerika Serikat).
"Neraca perdagangan kita di bulan Oktober ini tercatat surplus sebesar US$5,73 miliar," terang Margo.
Surplus neraca perdagangan Oktober meningkat 31,12% dari bulan sebelumnya yang mencapai US$4,37 miliar setara Rp61,58 triliun.
Dia menyebut, negara penyumbang surplus terbesar adalah Amerika Serikat (US$1,7 miliar), China (US$1,3 miliar) dan Filipina (US$685,7 juta).
Sebaliknya, negara yang mengalami defisit terbesar yaitu Australia (US$595 juta), Thailand (US$295,6 juta) dan Ukraina (US$216,4 juta).
Margo menerangkan, selama Januari-Oktober, surplus neraca perdagangan mencapai US$30,81 miliar. Jumlah tersebut merupakan yang terbesar sejak 2016.
"Mudah-mudahan kinerja ekspor kita dipertahankan dan neraca perdagangan terus tumbuh dan akan berdampak kepada pemulihan ekonomi di masa yang akan datang," pungkas Margo.