Ilustrasi penambangan pasir laut.
Nasional

Ekspor Pasir Laut dan Luka Lama Masyarakat Adat

  • Keputusan pemerintah yang kukuh memberlakukan ekspor pasir laut membuka luka lama praktik tersebut beberapa dekade silam. Nelayan, warga pesisir dan masyarakat adat di penjuru Nusantara telah merasakan pedihnya kehilangan penghidupan akibat pengerukan pasir laut.

Nasional

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Keputusan pemerintah yang kukuh memberlakukan ekspor pasir laut membuka luka lama praktik tersebut beberapa dekade silam. Nelayan, warga pesisir dan masyarakat adat di penjuru Nusantara telah merasakan pedihnya kehilangan penghidupan akibat pengerukan pasir laut. 

Setelah keran ekspor pasir laut ditutup 20 tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membolehkannya melalui Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2023. Beleid itu diperkuat Peraturan Menteri Perdagangan No.20 Tahun 2024. Jokowi beralasan pemerintah tidak mengekspor pasir laut, melainkan hanya sedimentasi laut. 

Pernyataan tersebut kontan memicu kontroversi lantaran Jokowi dianggap sekadar beretorika. Pemerintah dinilai mengabaikan fakta hilangnya sumber daya alam dan penghidupan warga ketika praktik tersebut mulai merebak medio 2000-an. 

Mengutip data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sejak 2001 wilayah Bangka Belitung mengekspor pasir laut sebanyak 300.000-500.000 ton per bulan untuk kepentingan Singapura. Praktik tersebut membuat lingkungan di provinsi kepulauan ini hancur dua dekade selanjutnya. 

Merujuk analisis citra tahun 2017, terumbu karang yang sebelumnya seluas 82.259,84 hektare (ha) hanya tersisa sekitar 12.474,54 ha. Artinya, sekitar 5.720,31 ha terumbu karang mati. Tak cuma itu, selama 20 tahun terakhir, seluas 240.467,98 ha mangrove di Bangka Belitung mengalami kerusakan.

Di Jawa Timur, pertambangan pasir laut sudah berlangsung sejak 1996. Hal tersebut membuat jumlah nelayan di provinsi itu berkurang signifikan. Itu tak lepas dari krisis ikan di laut. Kondisi hampir serupa terjadi di Pulau Kodingareng. Banyak nelayan di wilayah itu meninggalkan pulau karena kehilangan pekerjaan akibat kerusakan laut. 

Bahkan, tak sedikit keluarga yang terjerat utang sehingga menikahkan anaknya di usia dini. Walhi mencatat kerugian ekonomi akibat tambang pasir laut di pulau yang terletak di Selat Makassar itu mencapai Rp80.415.300.000. Kerugian itu terjadi akibat pertambangan pasir laut yang dilakukan perusahaan Belanda, PT Boskalis, hanya dalam 257 hari.

Ancam Ekonomi Kelautan

Sementara itu, tambang pasir laut di Lampung berpotensi mengancam ekonomi kelautan yang berasal dari penangkapan dan pengolahan rajungan. Diketahui, Lampung adalah provinsi penghasil kepiting rajungan terbesar ketiga di Indonesia. Mereka berkontribusi hingga 12% dari ekspor rajungan RI. 

Sekitar 4.000 orang nelayan terlibat dalam penangkapan rajungan serta 2.000 orang bekerja di sektor pengolahan rajungan. Tak hanya merugikan nelayan, masyarakat pesisir serta masyarakat adat turut terdampak kebijakan tersebut. 

Walhi mengungkap telah terjadi banyak konflik di mana 3.000-4.000 orang masyarakat adat terancam wilayah tangkapnya. Aktivitas pertambangan pasir juga telah memakan korban jiwa. Penambang di laut tewas karena kecelakaan tambang. 

“Pertambangan pasir laut tidak memberikan keuntungan sedikit pun kepada masyarakat pesisir, khususnya nelayan," ujar Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eknas Walhi, Parid Ridwanuddin, dalam keterangannya, Rabu, 19 September 2024.

Parid mengatakan pembukaan kembali kebijakan ekspor pasir laut adalah langkah yang bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33. “Kebijakan ini membuktikan pemerintah lemah di hadapan korporasi. Pada saat yang sama, pemerintah menjual kedaulatan negara dengan harga yang sangat murah,” tuturnya.

Tak hanya soal ekonomi, tambang pasir laut disebut telah mengorbankan kelestarian lingkungan. Di Bali, abrasi besar terjadi di wilayah pantai. Kondisi itu membuat mangrove dan terumbu karang terancam hancur. 

Di Maluku Utara, tambangan pasir laut, khususnya pasir besi di Kabupaten Morotai mengancam kelestarian pesisir, laut, dan pulau kecil di pulau yang berhadapan dengan Samudera Pasifik itu.

Baca Juga: Mengukur Potensi Penerimaan Negara dari Ekspor Pasir Laut

Investigasi global belum lama ini juga membuktikan bahwa ekspor pasir laut merusak lingkungan, mengganggu ketahanan pangan hingga melanggar hak asasi manusia (HAM). Temuan itu merujuk hasil laporan investigasi jaringan jurnalis yang tergabung dalam Environmental Reporting Collective (ERC).

Laporan ERC yang digarap selama setahun terakhir mengungkap dampak negatif penambangan pasir di 12 negara; dari Indonesia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina, China, Taiwan, India, Nepal, Sri Lanka, hingga Kenya.

Pertama, tim ERC menemukan penambangan pasir yang masif, selain telah menyebabkan pulau-pulau kecil di Indonesia hilang, juga merusak daerah penangkapan ikan di Taiwan, Filipina, dan China. 

Di Indonesia, Majalah Tempo menemukan bagaimana penambangan pasir laut oleh PT Logo Mas Utama di perairan utama Pulau Rupat dan Pulau Babi, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, memperparah kerusakan ekosistem pesisir serta abrasi di sana.

Problem juga terjadi di Bengkulu. ERC mewawancarai sekelompok ibu yang melawan perusahaan penambangan pasir di Pasar Seluma, Bengkulu, dengan protes damai dan simbolik. 

Di sana, penambangan pasir laut oleh PT Flaminglevto Baktiabadi dituding mengancam ekosistem  remis-kerang laut yang merupakan sumber pendapatan dan protein bagi masyarakat adat Serawai. Direktur ED Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan, tak habis pikir dengan penggunaan istilah sedimentasi untuk menutupi borok upaya ekspor pasir laut. 

“Penggunaan istilah sedimentasi yang disampaikan pemerintah merupakan bentuk greenwashing dan atau ocean grabbing. Praktik ini telah dan akan mengancam kedaulatan pangan laut yang selama ini menyuplai protein hewani dari ikan kepada masyarakat,” ujarnya.