Nasabah melakukan transaksi menggunakan mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di salah satu ATM Center di Jakarta, Kamis, 24 Februari 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Bursa Saham

Emiten Perbankan Kompak Cetak Rekor Laba Bersih, Waspadai 4 Risiko Ini

  • Mengilas balik kinerja tahun lalu, beberapa emiten perbankan seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BRMI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI, PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA), dan PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP), mencetak ATH pada laba bersihnya.
Bursa Saham
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA - Pada tahun 2022, sebagian besar emiten perbankan di dalam negeri mencetak laba bersih yang mencapai level tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH).

Investment Analyst Stockbit Academy Rahmanto Tyas Raharja mengatakan, pencapaian tersebut didorong oleh pemulihan ekonomi pascapandemi yang mendorong tren kenaikan net interest income (NII) dan penurunan beban provisi.

Net interest margin pun meningkat karena adanya penurunan cost of fund akibat berlimpahnya likuiditas pada tahun 2022.

"Namun, mulai terlihat perlambatan kinerja sejak awal 2023. Terlihat dari pertumbuhan kredit, NII, dan net interest margin (NIM) secara quarter-on-quarter (qoq). Namun, credit cost dan kualitas aset telah kembali ke level prapandemi," ujar Rahmanto dikutip dari riset, Kamis, 15 Juni 2023.

Mengilas balik kinerja tahun lalu, beberapa emiten perbankan seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BRMI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI, PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA), dan PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP), mencetak ATH pada laba bersihnya.

BCA mencetak laba bersih Rp40,7 triliun (+30% yoy), BRI Rp51,17 triliun (+65% yoy), Bank Mandiri Rp41,7 triliun (+47% yoy), BNI Rp18,31 triliun (+68% yoy), CIMB Niaga Rp5,04 triliun (+23% yoy), dan OCBC NISP Rp3,32 triliun (+32% yoy).

Kenaikan laba bersih pada keenam emiten bank tersebut terjadi seiring dengan penyaluran kredit yang meningkat, seperti BCA yang mencatat kenaikan 12%, BRI 9%, Bank Mandiri 14%, BNI 11%, CIMB Niaga 8%, dan OCBC NISP 14%.

Sementara itu, penurunan beban provisi pada 2022 pun turut berperan dalam terdongkraknya laba bersih emiten perbankan pada tahun lalu, seperti BCA yang mencatat penurunan beban provisi sebesar 51%, BRI 31%, Bank Mandiri 17%, BNI 37%, CIMB Niaga 9%, dan OCBC NISP 25%.

Setelah mencetak kinerja yang gemilang pada tahun 2022, pertumbuhan kredit perbankan mulai melambat saat memasuki tahun 2023. Kredit perbankan tercatat tumbuh 8,1% pada April 2023 dan menjadi level yang terendah sejak Maret 2022.

Namun, secara umum, perbankan masih melanjutkan pertumbuhan laba bersih secara tahunan pada kuartal I-2023, seperti BCA yang mengalami kenaikan laba bersih 43% yoy, BRI 27,4% yoy, Bank Mandiri 25,2% yoy, BNI 31,8% yoy, CIMB Niaga 32,4% yoy, dan OCBC NISP 65,9% yoy.

Seiring dengan perkembangan tersebut, NIM emiten perbankan pada kuartal pertama tahun ini cenderung menurun dari kuartal IV-2022.

Misalnya, BCA mencatat NIM sebesar 5,6%, menurun dari 5,9% pada kuartal IV-2022. Begitu juga dengan BRI yang level NIM-nya menyusut dari 6,8% menjadi 6,67%, Bank Mandiri dari 5,47% menjadi 5,4%, dan BNI dari 4,85% menjadi 4,67%.

Rahmanto mengatakan, konsensus analis masih memproyeksikan laba bersih emiten-emiten perbankan akan tumbuh pada tahun 2023.

Kendati demikian, setidaknya ada empat risiko yang harus diwaspadai dalam mencermati kinerja emiten perbankan di tahun ini, Berikut rinciannya:

1. Makroekonomi

Rahmanto menyebutkan bahwa performa perbankan sangat berkait dengan kondisi makroekonomi secara keseluruhan. Dengan demikian, kondisi makroekonomi yang tidak menentu dapat berimbas terhadap likuiditas, kualitas aset ,hingga pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) perbankan.

Menurut Rahmanto, penyaluran kredit yang cenderung melambat sejak awal tahun ini bisa menjadi peringatan awal bagi kinerja perbankan di 2023.

"Pencapaian loan growth yang melemah sejak awal tahun hingga April 2023 dapat menjadi early warning bagi kinerja perbankan ke depannya," kata Rahmanto dikutip dari riset, Jumat, 16 Juni 2023.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan terkait risiko makroekonomi di antaranya perlambatan ekonomi dan konsumsi hingga penurunan harga komoditas global.

Di sisi lain, katalis dari Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dapat menjadi sentimen positif dan berpotensi mendorong konsumsi pada semester II-2023 dan kuartal I-2024.

2. Likuiditas

Kondisi makroekonomi beserta kebijakan-kebijakan yang berkaitan dewasa ini dapat menyebabkan pengetatan likuiditas hingga membatasi ruang untuk bertumbuh.

Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya cost of fund yang pada gilirannya dapat menjadi penghambat pertumbuhan.

3. Net Interest Margin (NIM)

Peningkatan loan to deposit ratio (LDR) yang dialami emiten perbankan pascapandemi menandakan likuiditas yang lebih ketat, dan Rahmanto menandai hal tersebut sebagai suatu faktor yang dapat menyebabkan persaingan dalam memperebutkan likuiditas.

"Hal ini jika terjadi dapat menyebabkan kompetisi antarperbankan dalam memperebutkan DPK yang menyebabkan persaingan harga (bunga tabungan dan deposito) yang dapat membuat peningkatan cost of fund hingga menekan NIM," tutur Rahmanto.

Dikatakan olehnya, penyesuaian bunga kredit dapat menjadi salah satu fokus perbankan untuk menjaga NIM jika cost of fund mengalami kenaikan.

4. Kualitas Aset atau Nonperforming Loan (NPL)

Memburuknya kualitas aset dikatakan oleh Rahmanto dapat berimbas negatif kepada performa bank yang ditandai pula dengan meningkatnya kembali NPL pascapandemi.

"Sebagai contoh, potensi peningkatan NPL dari industri konstruksi, yang mana beberapa pemain besarnya sudah mulai default hingga dikenakan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU)," kata Rahmanto.