ESG Award: Eksploitasi Hutan untuk Investasi
- Eksploitasi hutan kian eksis sebelum munculnya konsep pembangunan berkelanjutan yang menjadi cikal bakal ESG.
Nasional
JAKARTA – Saat ramai orang ramai-ramai membicarakan ESG, banyak cerita yang mengawali gerakan untuk secara bersamaan melestarikan lingkungan, membangkitkan rasa sosial, sambil meraup laba secara bersamaan.
Environment, Social, and Governance (ESG) menjadi barang mewah setelah industri berkembang pesat. TrenAsia ingin bercerita tentang dasar semangat gerakan tersebut.
Pada awal 1600-an atau sejak era-kolonialisasi bangsa Eropa di Amerika, eksploitasi hutan telah berlangsung. Saat itu, manusia dengan bebas melakukan penebangan pohon untuk diambil kayunya untuk dijadikan berbagai produk kayu olahan yang memiliki nilai jual.
Pemanfaatan kayu lainnya, juga digunakan sebagai bahan bangunan bagi rumah tinggal, hingga sebagai bahan dasar dari proses pembuatan kertas. Selain itu, penggundulan hutan untuk dialihfungsikan sebagai lahan pertanian, peternakan, perkebunan, atau permukiman yang sifatnya non-kehutanan juga sering dilakukan oleh manusia.
- Trio Danau Warna di Ethiopia Terlihat Menakjubkan dari Ruang Angkasa
- CIA Bantu Upaya Menghidupkan Lagi Mamut dan Harimau Tasmania
- Mandi Uang, Ini 5 CEO dengan Bayaran Termahal
Eksploitasi itu berujung pada terjadinya deforestasi yang terus berlangsung hingga awal abad ke-18. Eksploitasi kian eksis mengingat belum adanya aturan atau konsep apapun yang dapat membatasi kegiatan tersebut.
Eksploitasi secara besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa Eropa juga telah membuat hampir setengah dari wilayah Amerika Utara bagian timur mengalami deforestasi. Miris memang…
Deforestasi itu menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan yang sebelumnya tidak disadari oleh manusia, seperti rusaknya rumah tinggal bagi habitat, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga kegersangan akibat penggundulan hutan.
Deforestasi yang dilakukan tidak disertai dengan adanya upaya penanaman kembali juga menyebabkan pengikisan tanah yang sering berujung pada terjadinya perubahan lahan perhutanan menjadi gurun, sehingga pemanfaaatan hutan pun tidak lagi bersifat secara jangka panjang untuk digunakan oleh manusia.
Hal itu disadari oleh seorang akuntan pajak dan administrator pertambangan Kerajaan Saxony (kini Jerman) yaitu Hans Carl von Carlowitz.
Pada tahun 1713 di Jerman, Hans Carl Von Calowitz atau familiar sebagai Von Carlowitz menggagas sebuah pemikiran mengenai visi kebijakan dalam industri kehutanan yang disebut Nachhaltiger Ertrag.
Nachhaltiger Ertrag atau dalam Bahasa Indonesia berarti hasil berkelanjutan merupakan sebuah level eksploitasi pada hutan atau tanaman yang perlu dijaga dan dipertahankan dengan membatasi jumlah panennya untuk mencegah penyusutan sumber daya alam.
Masih di tahun 1713, Von Carlowitz yang juga merupakan Ketua Kantor Pertambangan Kerajaan Saxony menulis buku berjudul “Daß man mit dem Holtz pfleglich umgehe” atau dalam bahasa indonesia berarti “kita mengeksploitasi hutan dan merawatnya”.
Ia juga menulis “wie eine sothane Conservation und Anbau des Holtzes anzustellen, daß es eine continuirliche beständige und nachhaltende Nutzung gebe“ atau berarti “upaya konservasi dan hutan lestari yang menghasilkan manfaat berkelanjutan, stabil, dan terus-menerus”.
Dari situ, hutan merupakan buah karya tuhan dengan segudang manfaat bagi kehidupan manusia. Kegiatan pemanfaatan hutan melalui eksploitasi oleh manusia ini memiliki catatan sejarah yang panjang sebagai awal mula munculnya sebuah konsep pembangunan berkelanjutan modern kelak…
Perlu pemikiran yang komprehensif jika ingin menerapkan ESG secara baik…