ESG Award: Kita Mengeksploitasi Hutan dan Harus Merawatnya
- Buku Von Carlowitz yang berjudul Kita Mengeksploitasi Hutan dan Harus Merawatnya menjadi dasar pemikiran program berkelanjutan modern.
Nasional
JAKARTA – Pada 1713, seorang akuntan Jerman Von Carlowitz yang juga merupakan Ketua Kantor Pertambangan Kerajaan Saxony menulis buku berjudul “Daß man mit dem Holtz pfleglich umgehe” atau dalam bahasa Indonesia berarti “kita mengeksploitasi hutan dan merawatnya”.
Dia bercerita soal besarnya manfaat yang diperoleh manusia melalui hutan. Lalu dia mencetuskan konsep berkelanjutan. Ia juga menyarankan agar Kerajaan Saxony melakukan upaya pencegahan kelangkaan kayu dan kelangkaan hutan akibat ekploitasi yang masif melalui pemikirannya tersebut.
Gagasan pemikiran yang dipelopori oleh Von Carlowitz baik melalui visi kebijakan kehutanan Nachhaltiger Ertrag atau tulisan-tulisannya itu menjadi tonggak dasar terciptanya sebuah konsep berkelanjutan yang nantinya akan diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi sebuah program berkelanjutan modern.
- Trio Danau Warna di Ethiopia Terlihat Menakjubkan dari Ruang Angkasa
- CIA Bantu Upaya Menghidupkan Lagi Mamut dan Harimau Tasmania
- Mandi Uang, Ini 5 CEO dengan Bayaran Termahal
Lompat ke era 1983, Sekretaris Jenderal PBB ke-50 Javier Perez menunjuk Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia, untuk memimpin Komisi PBB World Commission on Environment and Development (WCED) untuk mempersatukan konsep dan visi negara-negara anggota PBB tentang pembangunan berkelanjutan.
Empat tahun setelahnya, komisi yang lebih popular disebut sebagai Komisi Brutland itu menghasilkan sebuah laporan berjudul “our common future” yang secara khusus merumuskan sebuah konsep pembangunan berkelanjutan (Suistainable Development). Konsep ini yang pada masa mendatang berkembang menjadi environment, social, and governance (ESG).
Komisi Brundtland menafsirkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah sebuah konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Selanjutnya, laporan hasil komisi Brutland itu di-elaborasi lebih lanjut dalam sebuah program PBB yang disebut sebagai “agenda 21”. Program itu dicetuskan di KTT Bumi Rio Janeiro pada1992 dan disepakati oleh 178 negara dunia, termasuk Indonesia.
Agenda 21 memuat empat pokok bahasan utama yakni mengenai ekonomi dan sosial, pengelolaaan sumber daya, penguatan kelompok, dan pengembangan sarana implementasi. Dalam hal ini, negara-negara maju memberikan 0,7% gross national product (GNP) atau produk nasional bruto-nya untuk membantu negara berkembang dalam hal pengelolaan lingkungan.
Meski sempat mendapat penerimaan yang baik, agenda 21 justru mengalami kegagalan karena organisasi besar dunia tidak merangkul konsep berkelanjutan di negara-negara berkembang, ditambah dengan munculnya sejumlah permasalahan global seperti krisis finansial, polusi, hingga kelaparan di akhir era 90-an.
Lalu, sampai di titik mana kita mampu mempertahankan konsep keberlanjutan?