ESG: Gambaran Umum, Indikator dan Ruang Lingkup ESG (Part 2 - Habis)
- Tidak ada pendekatan standar untuk indikator atau penyajian metrik ESG yang berbeda. Investor dapat menggunakan penilaian yang sama terhadap peluang investasi.
Korporasi
JAKARTA – Tidak ada pendekatan standar untuk indikator atau penyajian metrik ESG yang berbeda. Investor dapat menggunakan berbagai pendekatan analitis dan sumber data untuk menangani pertimbangan ESG, termasuk bobot kepentingan klien dan nilai potensial dari sebuah aktivitas investasi.
Memahami manfaat dan keterbatasan relatif dari berbagai metrik dapat membantu membentuk gambaran yang lebih lengkap tentang risiko dan peluang ESG.
Menurut Hasan Fawzi, indikator pencapaian ESG adalah terletak pada aktivitas-aktivitas yang mendukung penerapan yang baik untuk aspek ESG dari sebuah korporasi. Informasi tersebut biasanya disampaikan dalam keterbukaan informasi terkait ESG.
Di dunia, juga belum ada standar yang disepakati secara global untuk pelaporan pencapaian ESG. Beberapa standar yang banyak digunakan adalah yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiatives (GRI), Sustainability Accounting Standards Board (SASB), dan Task Force on Climate Related Financial Disclosures (TCFD).
- Tren Istilah: Penghasilan Tinggi Namun Tak Bikin Kaya, Apa Itu HENRY?
- Ojol dan Lingkaran Setan Kerja Tak Kenal Libur
- Samsung Hentikan Update Software di Berbagai Ponsel Seri Galaxy, Cek Ponsel Anda di Sini!
Maria menambahkan, ada juga lembaga konsultan internasional yang menetapkan standar ESG seperti Carbon Disclosure Project (CDP) dan Climate Disclosure Standard Board (CDSB). Lembaga-lembaga ini bersifat independen dan tidak bernaung di bawah PBB. Standar-standar yang ditetapkan ini biasanya berbeda untuk setiap sektor investasi sekaligus menjadi acuan bagi investor untuk melakukan investasi di pasar modal.
Di Indonesia, lanjut Hasan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan kewajiban bagi lembaga jasa keuangan dan emiten untuk menyampaikan laporan keberlanjutan yang tertuang pada Peraturan OJK (POJK) 51 tahun 2017 serta panduan dalam penyusunan laporan keberlanjutan ini pada Surat Edaran OJK Nomor 16 tahun 2021.
Dari sisi investor, saat ini belum terdapat satu standar khusus yang digunakan investor dalam mengintegrasikan aspek ESG dalam keputusan investasinya. Investor biasanya mencari beberapa aspek material yang menyangkut bisnis perusahaan, dan menggunakan keterbukaan informasi yang ada untuk melakukan penilaian aspek ESG.
Selain itu sejumlah investor juga menggunakan penilaian ESG dari pihak ketiga untuk membantu melakukan analisa ESG perusahaan.
Bursa Efek Indonesia (BEI) sendiri telah menggandeng mitra untuk penilaian ESG untuk melakukan penilaian aspek ESG terhadap Perusahaan Tercatat (Tbk), antara lain: Sustainalytics untuk penilai global, dan Yayasan KEHATI untuk penilai dari Indonesia. Selain itu, ada MSCI ESG Rating.
“Penilaian ESG ini selain menjadi alat bantu investor, juga membantu perusahaan untuk terus melakukan perbaikan. Lebih lanjut lagi, BEI juga mengembangkan indeks ESG dari hasil penilaian ESG tersebut,” papar Hasan.
Maria menambahkan bahwa ESG juga memiliki kerangka Organisasi Internasional untuk Standardisasi (ISO). Kerangka ISO ESG dapat dibagi ke dalam beberapa aspek.
Misalnya, untuk manajemen lingkungan memiliki standar ISO 14001, manajemen CSR ISO 26000, kepatuhan ISO 19600, anti penyuapan ISO 37001, green bond and loans ISO 14030, metrik terkait iklim ISO 14097, valuasi keuangan ISO 14008 dan menentukan biaya dan manfaat ISO 14007.
Ruang Lingkup ESG
Hampir tidak ada satu pun daftar ruang lingkup ESG yang lengkap. Kriteria atau ruang lingkup ESG sering kali saling terkait, dan dapat menjadi tantangan untuk mengklasifikasikan suatu masalah ESG hanya sebagai masalah lingkungan, sosial, atau tata kelola.
Faktor-faktor ESG juga seringkali dapat diukur, tetapi juga dapat sulit untuk menetapkan nilai uang atau nominal tertentu.
Dalam paparannya, Maria mengatakan bahwa secara umum ruang lingkup ESG mencakup pada isu-isu penting. Untuk isu lingkungan mencakup masalah konsumsi energi, pengelolaan polusi, mengatasi perubahan iklim, dan manajemen sampah.
Sementara isu sosial mencakup hak asasi manusia (HAM), anak dan kerja paksa, kesejahteraan komunitas, dan kesehatan dan keamanan stakeholder.
Kemudian isu tata kelola mencakup kualitas manajemen, independensi, mitigasi konflik kepentingan dan aspek diversity.
Tahun ini, ada beberapa tren ESG yang menjadi konsern dunia. Untuk isu lingkungan mencakup isu perubahan iklim, sumber daya alam dan energi, biodiversity, kelangkaan air, ekonomi sirkuler (sampah), pengelolaan polusi dan isu sensitif lainnya.
Kemudian untuk isu sosial mencakup isu kesehatan dan keamanan, bisnis dan HAM, proteksi data pribadi, proteksi konsumen, standar tenaga kerja, diversity dan inklusi, manajemen rantai pasok, warisan budaya dan identitas asli serta pinjaman bertanggung jawab.
Sementara untuk isu tata kelola mencakup aspek kepemimpinan dan tata kelola korporasi, tata kelola data, kejahatan keuangan, penyuapan, pelaporan pelanggaran, manajemen risiko dan kepatuhan, etika dan budaya, renumerasi eksekutif, serta manajemen pemegang saham.
Hasan menambahkan bahwa dalam konteks Indonesia, ruang lingkup untuk menjelaskan faktor-faktor ESG sangat luas dan berbeda-beda. Sebagai contoh ruang lingkup yang digunakan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang dibentuk sejak 12 Januari 1994.
Yayasan ini dimaksudkan untuk menghimpun dan mengelola sumberdaya yang selanjutnya disalurkan dalam bentuk dana hibah, fasilitasi, konsultasi dan berbagai fasilitas lain guna menunjang berbagai program pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia dan pemanfaatannya secara adil dan berkelanjutan.
Kriteria lingkungan menurut standar KEHATI terdiri atas produk dan inovasi berkelanjutan, sumber daya alam, penggunaan energi, emisi gas rumah kaca, serta manajemen limbah.
Semenrtara kriteria sosial mencakup aspek pelatihan dan pengembangan, kebijakan SDM, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan hak konsumen dan keamanan produk, dan dampak sosial lingkungan.
Untuk kriteria tata kelola mencakup perlindungan hak pemegang saham, kompetensi dan peran dewan komisaris dan direksi, keterbukaan informasi, etika bisnis, dan praktik manajemen keberlanjutan.
Beberapa kriteria ruang lingkup yang dikeluarkan lembaga lain seperti McKinsey, CFA Institute, dan Western Asset juga menggambarkan penekanan pada aspek yang sama.
Indeks ESG di Indonesia
Indonesia tidak ketinggalan dalam merespons isu ESG di dunia. Menurut Hasan, awal penerapan ESG di pasar modal juga dimulai sejak tahun 2009 saat BEI dan Yayasan KEHATI meluncurkan indeks saham Sustainable and Responsible Investment KEHATI (SRI-KEHATI).
Ini adalah salah satu indeks yang menjadi indikator pergerakan harga saham di BEI menggunakan prinsip keberlanjutan, keuangan, dan tata kelola yang baik, serta kepedulian terhadap lingkungan hidup sebagai tolok ukurnya.
“Saat itu memang investasi bertanggung jawab belum menjadi tren seperti saat ini di Indonesia,” terang Hasan.
Penerapan ESG di pasar modal kemudian dipertegas lagi saat OJK meluncurkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I untuk tahun 2015-2019 dan dilanjutkan dengan pengaturan kewajiban penyampaian Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) dan Laporan Keberlanjutan pada POJK Nomor 51 Tahun 2017.
Roadmap Keuangan Berkelanjutan kembali diluncurkan oleh OJK untuk Tahap II yakni untuk periode 2021-2025 dengan juga diluncurkan Surat Edaran OJK Nomor 16 tahun 2021 yang di dalamnya terkandung Panduan untuk Penyusunan Laporan Keberlanjutan. Terakhir, OJK meluncurkan Taksonomi Hijau pada 20 Januari 2022 lalu.
- Jakarta Kota dengan Polusi Terburuk, Mobil Listrik Jadi Solusi Strategis
- Dari Gucci Hingga Louis Vuitton, Inilah 3 Perusahaan Di Balik Kesuksesan Merek Mewah Dunia
- Baru Dapat Ijin OJK, BNI Ventures Catat Laba Bersih Rp1,9 Miliar
Walau begitu, perjalanan penerapan ESG di pasar modal perlu terus ditingkatkan oleh seluruh pelaku di pasar modal, baik dari sisi perusahaan tercatat, manajer investasi, maupun investor. Oleh karena itu, BEI terus mengambil peran sebagai regulator untuk meningkatkan kapasitas stakeholder di pasar modal untuk penerapan ESG.
Saat ini sudah terdapat empat Indeks ESG yang dihitung oleh BEI, yaitu IDX ESG Leaders dan 3 indeks lainnya yang bekerja sama dengan Yayasan KEHATI, yakni SRI-KEHATI, ESG Sector Leaders IDX-KEHATI, dan ESG Quality 45 IDX-KEHATI.
“Kehadiran indeks-indeks ESG ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya kebutuhan dari investor dan pangsa pasar reksa dana dan exchange-traded fund (ETF) yang mengacu kepada indeks ESG. Hingga pada November 2021 telah terdapat 15 produk dengan nilai dana kelolaan sebesar Rp3,5 triliun, naik 82 kali lipat dari dana kelolaan pada Desember 2016 senilai Rp42 miliar dari hanya 1 produk,” terang Hasan.
Dia mengurai terdapat perbedaan metodologi dari indeks-indeks ESG yang ada di BEI. Pertama, Indeks IDX ESG Leaders yang menggunakan penilai ESG global, yakni Sustainalytics.
Indeks ini menggunakan strategi ESG integration, yang artinya seluruh Perusahaan Tercatat dari seluruh sektor dapat masuk ke dalam konstituen indeks tersebut, selama memiliki penilaian ESG yang baik.
Selain itu, dari metode pembobotan, IDX ESG Leaders memberikan bobot lebih dalam indeks kepada saham dengan nilai ESG yang lebih baik, serta memberikan pengurang bobot dalam indeks pada saham dengan nilai ESG yang lebih buruk.
Konstituen indeks ini dipilih dari saham-saham IDX80 untuk memastikan tingkat likuiditas dan fundamental yang baik.
Untuk indeks-indeks yang bekerja sama dengan KEHATI perbedaan utamanya adalah menggunakan exclusionary screening, dengan mengeluarkan saham-saham yang masuk ke dalam industri rokok, pornografi, persenjataan, minuman keras, batu bara, nuklir, perjudian (gambling), dan penggunaan pestisida serta penilaian ESG dilakukan oleh Yayasan KEHATI.
Konstituen indeks diambil dari ESG KEHATI yang dipilih dari saham-saham dengan nilai ESG KEHATI yang baik, memiliki likuiditas dan kondisi fundamental yang bagus.
Untuk Indeks SRI-KEHATI, diambil 25 saham dengan nilai ESG KEHATI terbaik. Indeks ESG Sector Leaders IDX ESG diambil dari perwakilan masing-masing sektor yang memiliki nilai ESG terbaik.
Sementara itu, Indeks ESG Quality 45 IDX ESG dipilih dengan mengombinasikan nilai ESG KEHATI dengan kriteria kualitas keuangan yang dilihat dari return on equity (ROE), debt to equity ratio (DER), dan volatilitas earning per share (EPS). Sebanyak 45 saham dengan nilai kombinasi terbaik terpilih menjadi konstituen indeks.
“Keempat jenis indeks yang telah tersedia di BEI ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh investor sebagai alat bantu investasi, dan juga memberi contoh investor bagaimana melakukan integrasi ESG dalam portofolio,” jelas Hasan.
Terkait rapor ESG Indonesi, Hasan menuturkan bahwa berdasarkan segi penyampaian laporan keberlanjutan oleh perusahaan tercatat melalui sistem SPE IDX-net, terdapat 153 perusahaan, atau 20% dari total perusahaan tercatat, yang telah menyampaikan laporan keberlanjutan periode 2020, naik dari hanya 54 perusahaan yang mengumpulkan laporan keberlanjutan di periode 2019.
Selain itu, jika merujuk pada penilaian yang dilakukan oleh Sustainalytics, perusahaan tercatat yang memiliki nilai ESG dengan klasifikasi risiko ESG yang baik, yaitu risiko sangat rendah (neglible) hingga sedang (medium) tumbuh dari 34 perusahaan pada Desember 2020 menjadi 40 perusahaan pada Desember 2021.
“Performa indeks ESG terbukti dapat mengalahkan performa indeks utama BEI seperti LQ45 dan IDX30. Pada periode 2014 hingga 2021, Indeks SRI-KEHATI mampu tumbuh 52,34 persen, IDX ESG Leaders tumbuh 36,08 persen. Sementara IDX30 tumbuh lebih rendah sebesar 33,67 persen dan LQ45 sebesar 30,67 persen,” ungkap Hasan.
Meski demikian, Arsjad menilai bahwa sebetulnya indeks ESG pasar modal Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan bursa negara tetangga, dengan disclosure masih di bawah 50%.
Indeks ESG pasar modal Indonesia hanya menempati peringkat ke-36 dari 47 pasar modal di dunia per Maret 2021. Bahkan indeks ESG ini berada di bawah Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, dan India.
Dia pun mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia perlu untuk kembali mengidentifikasi, menyusun prioritas, merespons, serta meninjau ulang isu ESG secara berkala. Namun dia juga tidak menepis fakta bahwa ruang lingkup ESG yang cukup luas terkadang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk implementasi ESG.
Tambahan pula ekspektasi investor akan penerapan ESG yang sangat tinggi terhadap implementasinya. Tantangan lainnya, reporting standard yang harus dipenuhi menjadi bertambah. Tidak berhenti di sana, termasuk juga proses pengumpulan data baru untuk meningkatkan kualitas keterbukaan informasi dan lain-lain.
Selain itu, proses sosialisasi dan internalisasi kepada pekerja dan pegawai terkait implementasi ESG, juga membutuhkan alokasi sumber daya tersendiri. Meski begitu, Arsjad memandang bahwa implementasi ESG juga memiliki manfaat yang besar bagi korporasi, utamanya dari sisi pengelolaan risiko atau risk management.
“Investasi hijau dengan penerapan ESG dinilai penting dalam dunia bisnis saat ini sehingga prospeknya akan cerah. Apalagi, para investor besar biasanya memperhatikan dan mempertimbangkan dana yang besar untuk kemajuan ESG,” ungkapnya.