Nampak konsumen mencoba melakukan pengisian usai pembukaan dan uji coba Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) bagi penghuni Apartemen Sudirman Park, Jakarta, Sabtu 1 Oktober 2022. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Energi

EV Dicap Lebih Hijau tapi Listrik Masih dari Batu Bara, Inilah Rekomendasi dari AEER

  • Indonesia berada di peringkat kelima sebagai negara penghasil emisi PLTU batu bara terbesar di dunia, naik satu peringkat dari tahun sebelumnya, menyalip Rusia.
Energi
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA – Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya terkait dengan penggunaan listrik yang masih didominasi berasal dari pertambangan batu bara sementara adopsi electric vehicle (EV) tengah digenjot dalam rangka mendukung ekosistem yang keberlanjutan. 

Transisi Kendaraan Listrik dan Permintaan Nikel 

Pius Ginting, koordinator AEER, mengatakan bahwa perubahan iklim global semakin nyata dengan meningkatnya emisi karbon akibat aktivitas manusia sejak 1800-an, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil. 

Pada tahun 2019, sektor transportasi menyumbang sekitar 8,7 GtCO2-eq, atau setara dengan 23% dari total emisi global yang terkait energi, dengan 70% berasal dari transportasi darat. 

Salah satu upaya dekarbonisasi yang dilakukan adalah dengan beralih ke kendaraan listrik (EV). Kendaraan listrik menggunakan motor listrik yang mendapatkan energi dari baterai dan dapat menyimpan energi melalui pengisian daya. Salah satu komponen penting dalam baterai adalah mineral nikel.

Dengan permintaan kendaraan listrik yang terus meningkat, kebutuhan akan nikel juga ikut melonjak. Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia dengan cadangan mencapai 52% dari total cadangan nikel global, melihat peluang besar ini untuk meningkatkan ekonomi nasional. 

Pemerintah Indonesia telah melarang ekspor bijih nikel dan mendorong pertumbuhan smelter untuk memproduksi nikel setengah jadi hingga nikel baterai.

Huayou Indonesia, produsen nikel komponen baterai, menjadi pemasok utama bagi Contemporary Amperex Technology (CATL) di Cina. CATL merupakan pemasok baterai untuk produsen kendaraan listrik terkemuka seperti BYD, Tesla, dan Volkswagen. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan posisi Indonesia dalam rantai pasok global kendaraan listrik.

Namun, produksi baterai nikel tidak hanya fokus pada peningkatan ekonomi tetapi juga harus mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan. 

Secara internasional, terdapat penilaian Environmental, Social, and Governance (ESG) yang mengevaluasi performa bisnis dan keberlanjutannya dalam aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola. 

Di tingkat nasional, Indonesia memiliki penilaian PROPER yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penilaian ini mencakup pengelolaan lingkungan seperti air limbah, emisi udara, dan limbah B3.

Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia diwajibkan untuk melakukan dan melaporkan penilaian ESG, sementara perusahaan yang tidak terdaftar tidak memiliki kewajiban yang sama. Namun, bagi perusahaan non-terdaftar, peringkat PROPER dapat digunakan untuk menilai tanggung jawab mereka dalam aspek keberlanjutan lingkungan.

Dengan adanya upaya dekarbonisasi dan transisi ke kendaraan listrik, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk memanfaatkan potensi nikel nasional guna meningkatkan ekonomi sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan. Langkah ini tidak hanya membawa manfaat ekonomi tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam industri global kendaraan listrik.

Listrik Masih Didominasi Batu Bara

Walaupun adopsi kendaraan listrik tengah didorong untuk mengurangi emisi karbon demi ekosistem yang berkelanjutan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa sumber energi untuk pembangkit listrik masih didominasi oleh tambang batu bara yang turut menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar. Bahkan, kapasitas tahunan PLTU batu bara di seluruh dunia mengalami peningkatan signifikan pada tahun 2023. 

Menurut laporan Boom and Bust Coal 2024, kapasitas global meningkat sebesar 48,4 gigawatt (GW), menjadikan total kapasitas global mencapai 2.130 GW. 

Peningkatan ini merupakan yang tertinggi sejak tahun 2016, menunjukkan tren yang bertolak belakang dengan tujuan Perjanjian Paris untuk mengurangi penggunaan batu bara.

Laporan dari Global Energy Monitor mencatat bahwa PLTU batu bara yang beroperasi di seluruh dunia pada tahun 2023 menghasilkan sekitar 10 miliar ton emisi CO2. 

Angka ini menunjukkan betapa besarnya kontribusi sektor PLTU batu bara terhadap total emisi global. Hal ini menekankan pentingnya tindakan lebih lanjut untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih.

Tiongkok menjadi negara penyumbang emisi PLTU batu bara terbesar di dunia. Menurut Global Energy Monitor, Tiongkok menyumbang dua per tiga dari penambahan kapasitas PLTU batu bara baru di tahun 2023. 

Sementara itu, Indonesia berada di peringkat kelima sebagai negara penghasil emisi PLTU batu bara terbesar di dunia, naik satu peringkat dari tahun sebelumnya, menyalip Rusia.

Bahkan, proses produksi nikel di Indonesia saat ini masih didominasi oleh penggunaan energi dari PLTU batubara captive. Pius mengatakan bahwa hingga saat ini, sekitar 64,2% atau setara dengan 8.817 MW dari total energi PLTU batubara captive digunakan untuk menyuplai kebutuhan industri nikel di Indonesia.

Di kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), listrik disuplai oleh Sulawesi Mining Power Station, sebuah PLTU batubara captive

Pembangkit ini dikelola oleh konsorsium yang terdiri dari PT Sulawesi Mining Investment, Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry, Indonesia Tsingshan Stainless Steel, dan Indonesia Morowali Power. Terdiri dari sembilan unit yang sudah beroperasi, pembangkit ini memiliki total kapasitas 2.080 MW atau 2,08 GW.

Namun, penggunaan energi dari batubara dalam proses produksi nikel ini menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Setiap ton nikel matte yang dihasilkan dari konversi nickel pig iron (NPI) mengemisikan sekitar 59 ton CO2. 

Sementara itu, produksi satu ton mixed hydroxide precipitate (MHP) dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) mengemisikan sekitar 19 ton CO2. 

Emisi ini bertentangan dengan target global Net Zero Emission yang diadaptasi oleh Indonesia dalam Enhanced National Determined Contribution (ENDC). 

Sementara itu, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 31,89% atau setara 915 MTon CO2-eq secara unconditional dan 43,2% atau setara 1.240 MTon CO2-eq dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

“Peningkatan produksi kendaraan listrik yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon global menjadi tidak sejalan jika nikel yang digunakan diproduksi dengan energi dari batu bara serta melalui praktik-praktik yang tidak mengindahkan ESG. Produsen EV sebagai penerima nikel untuk baterai memiliki andil dalam memengaruhi pasar dan standar nikel dengan menghentikan suplai nikel “kotor” tersebut untuk produksi EV mereka,” papar Pius dalam acara diskusi media “Peran ESG dalam Perbaikan Industri Nikel untuk Kendaraan Listrik” bersama AEER di Jakarta, Sabtu, 29 Juni 2024.

Pius mengatakan, untuk mendorong ekosistem berkelanjutan sesuai dengan semangat ESG yang saat ini tengah diupayakan tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di skala global, maka integrasi antara industri nikel dan pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan pun harus menjadi keniscayaan. 

Rekomendasi dari AEER

AEER mengeluarkan serangkaian rekomendasi penting terkait industri nikel yang semakin mendapat sorotan dalam produksi kendaraan listrik. 

AEER mendesak beberapa perusahaan besar, termasuk Tesla, Volkswagen (VW), dan BYD, untuk mengambil tindakan signifikan demi keberlanjutan ekologi dan sosial.

Berikut ini lima poin rekomendasi dari AEER:

1. AEER menuntut agar Tesla, VW, dan BYD menghentikan pasokan baterai maupun komponen baterai dari industri tambang dan pengolahan nikel yang tidak memenuhi standar sosial dan ekologis yang baik. 

2. Selain itu, AEER juga mendesak perusahaan-perusahaan ini untuk tidak menggunakan nikel yang diproduksi dengan energi batu bara. 

Penggunaan energi batu bara dalam produksi nikel dinilai sangat bertentangan dengan tujuan dekarbonisasi emisi global yang diusung oleh kendaraan listrik.

3. Transparansi praktik keberlanjutan dari perusahaan pemasok nikel di Indonesia menjadi salah satu poin penting dalam rekomendasi AEER. 

Mereka menekankan perlunya laporan tahunan, laporan keberlanjutan, dan publikasi praktik ESG yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

4. AEER juga menggarisbawahi pentingnya inisiatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap nikel primer dari tambang. 

Upaya ini dapat diwujudkan melalui peningkatan sirkularitas nikel, seperti daur ulang baterai nikel. Langkah ini tidak hanya mendukung perkembangan teknologi kendaraan listrik, tetapi juga menjadi bagian dari solusi transisi energi global yang lebih hijau dan berkelanjutan.

5. Selain itu, AEER mendorong produsen kendaraan listrik untuk beralih pada teknologi baterai yang lebih ramah lingkungan dalam proses produksinya.