Ilustrasi aplikasi pesan WhatsApp, Facebook, Telegram / Pixabay
Dunia

Facebook Kembali Digugat Terkait Akuisisi WhatsApp dan Instagram

  • Pejabat antimonopoli AS kembali mengajukan gugatan monopoli terhadap Facebook Inc. setelah hakim negara bagian AS menolaknya pada Juni lalu terkait akuisisi WhatsApp dan Instagram.

Dunia

Daniel Deha

JAKARTA - Pejabat antimonopoli Amerika Serikat (AS) kembali mengajukan gugatan monopoli terhadap Facebook Inc. setelah hakim negara bagian AS menolaknya pada Juni lalu. Facebook digugat karena diduga melakukan persaingan bisnis yang tidak sehat dengan mencaplok WhatsApp dan Instagram.

Facebook membeli Instagram pada 2012 seharga US$1 miliar setara Rp14,3 triliun dan kemudian WhatsApp pada 2014 seharga US$22 miliar setara Rp316,4 triliun.

Dalam transaksi itu, doktrin hukum yang berlaku di negara bagian AS tidak berlaku untuk Komisi Perdagangan Federal (FTC).

Karena itu, FTC mengajukan keluhan baru di pengadilan federal di Washington yang menuduh bahwa Facebook melanggar undang-undang antimonopoli dengan membeli Instagram dan WhatsApp untuk menghilangkan mereka sebagai pesaing.

FTC, seperti yang sebelumnya, meminta pengadilan untuk membatalkan akuisisi kedua entitas, demikian laporan Bloomberg, dikutip Kamis, 19 Agustus 2021.

Adapun saham Facebook meningkat tajam selama tahun ini yaitu mencapai 30%. Facebook kini menjadi perusahaan teknologi terbesar di Negeri Paman Sam.

Kasus Facebook pertama kali diajukan pada bulan Desember 2020, menjadi semacam ujian awal untuk Ketua FTC Lina Khan, yang ditunjuk sebagai kepala agensi pada bulan Juni 2021 oleh Presiden Joe Biden.

Khan adalah advokat terkemuka yang bisa mengambil sikap antimonopoli yang lebih kuat terhadap Facebook dan sudah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan otoritas agensi.

Namun Facebook berusaha untuk melarang Khan berpartisipasi dalam kasus ini. Alasannya bahwa tulisan akademisnya tentang perusahaan dan pekerjaannya di panel antimonooli DPR, yang menyelidiki Facebook dan platform teknologi lainnya, menunjukkan bahwa dia memiliki bias.

Akhirnya, FTC kembali mencoba untuk menghidupkan kasus tersebut setelah Hakim Distrik AS James Boasberg menolaknya. Kala itu hakim mengatakan bahwa agensi gagal memberikan detail yang cukup untuk mendukung klaimnya bahwa Facebook memiliki monopoli di pasar media sosial.

Pendukung gugatan Facebook mengatakan keputusan Boasberg menggambarkan hambatan hukum yang dihadapi pemerintah dalam menyelesaikan kasus monopoli.

Mereka mengatakan keputusan pengadilan selama beberapa dekade telah secara efektif memungkinkan perusahaan dominan untuk terlibat dalam taktik anti persaingan dan bahwa Kongres harus memberikan otoritas baru kepada para penegak hukum.

Dalam pernyataannya, FTC berpendapat bahwa kebijakan akuisisi menghalangi aplikasi untuk menawarkan fitur yang mungkin bersaing dengan Facebook dan mencegah aplikasi yang menjanjikan berkembang menjadi pesaing yang dapat mengancam monopoli Facebook.

Namun Boasberg menolak dan menyebut bahwa di bawah undang-undang antimonopi yang ditetapkan pengadilan, perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk melakukan bisnis dengan perusahaan lain dan dapat "menolak untuk bertransaksi" bahkan untuk mencegah persaingan bisnis.

"Seorang monopolis tidak memiliki kewajiban untuk berurusan dengan pesaingnya, dan penolakan untuk melakukannya pada umumnya sah," tulis Boasberg.

"FTC, oleh karena itu, tidak bisa kemana-mana dengan membingkai ulang adopsi Facebook dari kebijakan menolak untuk berurusan dengan semua pesaing sebagai pelaksanaan skema pemeliharaan monopoli yang melanggar hukum," pungkasnya.*