Fenomena Es Teh Jumbo Perparah Problem Sampah Plastik
- Menjamurnya gerai es teh jumbo di berbagai daerah di Indonesia dinilai membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi, usaha tersebut mampu menggeliatkan ekonomi masyarakat. Namun di sisi lain, masifnya gerai es teh jumbo dianggap memperparah problem sampah plastik di Indonesia.
Nasional
SOLO—Menjamurnya gerai es teh jumbo di berbagai daerah di Indonesia dinilai membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi, usaha tersebut mampu menggeliatkan ekonomi masyarakat. Namun di sisi lain, masifnya gerai es teh jumbo dianggap memperparah problem sampah plastik di Indonesia.
Di Kota Solo, lapak es teh jumbo tersebar mulai dari jalan-jalan protokol hingga gang-gang kampung. Di sejumlah jalan yang ramai, jarak antar lapak bahkan hanya puluhan meter. Selain harganya yang terjangkau, sekitar Rp3.000 per gelas, cuaca panas belakangan ini membuat es teh jumbo kian dicari.
Seorang penjual es teh jumbo di kawasan Laweyan, Yuni, mengaku dapat menjual hingga 100 gelas es teh jumbo setiap hari. Dia membuka lapak dari pagi hingga sore. “Mungkin karena cuaca panas terik ya, jadi banyak yang nyari es teh,” ujarnya saat ditemui TrenAsia.com akhir pekan lalu.
Yuni mengaku bisa saja menjual lebih dari 100 gelas per hari. Namun dia memilih tutup sekitar pukul 15.00-16.00 WIB karena harus mengurus keluarga. “Potensinya besar. Namun prioritas saya sekarang enggak cuma uang,” ujarnya.
- Masuk Indeks IDX-PEFINDO Prime Bank, Saham-Saham Perbankan Ini Menguat
- Cara Edit Foto Pakai Filter AI Yearbook yang Lagi Ramai di Instagram
- Menurut Pakar UGM, Pelarangan TiktokShop Harus Disertai Kebijakan Pendukung Lain
Fenomena menjamurnya es teh jumbo di Kota Bengawan disoroti Yayasan Gita Pertiwi. Lembaga yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan ini menilai usaha tersebut berpotensi menambah gunungan sampah plastik.
Hal ini karena usaha tersebut memakai gelas plastik sekali pakai dalam bertransaksi. “Bisa dibilang setiap 50 meter sekarang ada es teh jumbo. Ini perlu menjadi pemikiran karena kontribusi sampah plastiknya,” ujar Direktur Program Gita Pertiwi Titik Eka Sasanti.
Menurut Titik, produsen atau penjual perlu mulai diedukasi agar menggunakan wadah yang ramah lingkungan. Pihaknya tak menampik hal ini menjadi tantangan tersendiri karena berefek langsung pada harga produk yang dijual. “Pusat-pusat ekonomi harus terus diedukasi.”
Selain itu, edukasi juga dapat menyasar konsumen. Pembeli dapat didorong membawa wadah/botol sendiri saat membeli es teh. “Gaya hidup minim sampah perlu kesadaran dari semua pihak,” ujar Titik.
Dominan Setelah Sampah Makanan
Sebagai informasi, penggunaan plastik di Indonesia belakangan terus meningkat. Data terbaru menunjukkan konsumsi plastik per kapita di Indonesia meningkat dari 19,8 kg per orang per tahun pada tahun 2017 menjadi 22,5 kg per orang per tahun pada tahun 2022.
Adapun data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut dari 19.218.650,50 ton timbulan sampah di Indonesia tahun lalu, sebanyak 13,1% di antaranya adalah sampah plastik. Persentase tersebut menjadi yang tertinggi setelah sampah makanan (40,8%).
Di Kota Solo, jumlah sampah plastik bahkan mendominasi komposisi sampah tahun 2022. Merujuk data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, porsi sampah plastik di Kota Bengawan mencapai 43,18% dari total timbulan sampah sebesar 137.345,45 ton pada 2022.
Guru Besar Tetap dalam bidang Teknologi Polimer Universitas Indonesia (UI) Mochamad Chalid mengatakan gunungan sampah plastik bisa menjadi masalah besar. Hal ini lantaran Indonesia belum sepenuhnya mampu mengolah sampah plastik menjadi barang yang bernilai jual.
“Tantangan kita saat ini adalah mengubah cara pandang atau paradigma konsumen dan semua pihak terkait bahwa ketika kita beralih ke kemasan plastik, artinya sampah plastik harus diguna-ulang dan atau didaur-ulang,” ujarnya.