Fenomena Flexing dan Hubungannya dengan Strategi Pemasaran Broker Investasi Bodong: Potensi Bahaya Bagi Ekosistem Pasar Modal
- Flexing kerap kali digunakan sebagai strategi pemasaran broker investasi bodong dalam menjaring banyak pihak lewat iming-iming kekayaan instan dan dapat berbahaya bagi ekosistem pasar modal.
Fintech
JAKARTA – Fenomena flexing dalam beberapa waktu ke belakang cukup ramai dibicarakan di media sosial. Perilaku itu pun diduga ada keterkaitan juga dengan strategi pemasaran broker investasi bodong.
Rhenald Kasali, praktisi bisnis sekaligus guru besar di bidang Ilmu Manajemen Universitas Indonesia (UI) memaparkan hal tersebut saat dirinya hadir sebagai tamu dalam podcast di kanal YouTube Deddy Corbuzier dengan judul "Sok Kaya tapi Nipu Trading? Bohong Semua?”
Menurut Rhenald, flexing adalah memamerkan kekayaan kepada orang lain. Istilah itu pun sering muncul di media sosial sebagai platform yang sangat memungkinkan flexing untuk terjadi.
Orang yang melakukan flexing biasanya memamerkan barang mewah seperti mobil, rumah, atau aktivitas “mahal” untuk menunjukkan kesuksesan.
Rhenald pun mengatakan, flexing seringkali digunakan sebagai bentuk strategi pemasaran para broker produk investasi dengan menunjukkan kepada khalayak bagaimana kekayaan bisa didulang dalam waktu yang singkat.
Broker-broker itu pun menggunakan jasa para influencer untuk menjadi afiliator yang memperlihatkan bagaimana mereka bisa menjadi sukses, yakni melalui platform dari para broker itu sendiri.
- Wow! Semburan Lapindo Ternyata Menyimpan Harta Karun Mineral Langka
- Kadin Indonesia Ungkap 6 Bisnis yang Bakal Cerah di Tahun Macan Air
- Ada Kemungkinan Terjadinya Crypto Winter, Investor Diperingatkan untuk Waspada
Sementara itu, Rhenald pun melihat ada cukup banyak perilaku flexing yang dilakukan oleh afiliator dari investasi bodong, contohnya binary option yang bahkan tidak memiliki izin dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi).
“Itu banyak terjadi saat ini, dan kita yang tidak mengerti pun masuk ke umpan mereka,” ujar Rhenald sebagaimana dikutip Kamis, 3 Februari 2022.
Kekayaan yang dipamerkan dalam fenomena flexing memang dapat menjadi daya tarik bagi banyak orang jika ditinjau dari pendekatan research customer behaviour.
Dengan strategi yang dapat menggiurkan banyak orang, produk-produk investasi bodong pun menjadi suatu hal yang dinilai Rhenald semakin berbahaya bagi ekosistem pasar modal.
- BANKING EVERYWHERE: Adu Strategi Bisnis Digital Banking Bank-Bank Kakap (Part 1)
- Lampaui Pendapatan Tahun Lalu, Perumnas Optimistis Caplok Pasar Lebih Luas di Tahun 2022
- Transaksi Digital Banking Diprediksi Kian Jumbo, BRI Perkuat Infrastruktur IT
Kemudian, Rhenald juga mengatakan bahwa biasanya para afiliator produk bodong memamerkan kekayaan yang sebenarnya terbilang tidak masuk akal.
Rhenald menduga, kekayaan yang dipamerkan di media sosial itu sebenarnya banyak mengandung unsur kepalsuan dan sengaja dikondisikan oleh broker yang mensponsori mereka untuk keperluan pemasaran.
Bumbu-bumbu kemewahan seolah sudah menjadi kewajiban bagi para pelaku afiliasi yang berupaya memasarkan produk-produk investasi tertentu kepada publik.
“Ada orang yang mengaku sebagai pengusaha sukses, lalu kita hitung income mereka rasanya doesn’t make sense (tidak masuk akal). Misalnya beli private jet,” kata Rhenald.
Berangkat dari dugaan tersebut, Rhenald Kasali pun mengatakan bahwa perilaku flexing bisa jadi dilakukan oleh “orang kaya palsu”. Menurut Rhenald, orang kaya yang asli tidak akan menghambur-hamburkan uang untuk kepentingan pamer semata.
"Orang kaya palsu membeli sesuatu untuk menarik perhatian, bukan keperluan. Beda dengan orang kaya asli yang mengutamakan asuransi kesehatan dan investasinya lebih ke saving. Kalau orang kaya palsu cenderung ke konsumsi," kata Rhenald.