Muak dengan Konten Serupa di Feeds Instagram? Ini Cara Menonaktifkannya
Tekno

Fenomena Social Commerce Ancam Pusat Perbelanjaan

  • Pergeseran kebiasaan membeli barang dimulai ketika COVID-19 dua tahun lalu. Pembatasan dan larangan untuk keluar rumah membuat tren belanja secara daring meningkat.
Tekno
Bintang Surya Laksana

Bintang Surya Laksana

Author

JAKARTA - Social Commerce atau s-Commerce merupakan fenomena baru jual beli secara daring dengan menggunakan media sosial. Fenomena ini diawali oleh TikTok yang mengeluarkan fitur TikTok Shop dengan fiturnya yang mirip dengan e-commerce.

Melansir Asia News Network, TikTok memiliki pangsa pasar 5 persen di bisnis e-commerce Indonesia yang didominasi oleh Shopee dengan pangsa pasar 36 persen dan Tokopedia dengan pangsa pasar 35 persen, sedangkan Bukalapak dan Lazada masing-masing 10 persen. 

Pergeseran kebiasaan membeli barang dimulai ketika COVID-19 dua tahun lalu. Pembatasan dan larangan untuk keluar rumah membuat tren belanja secara daring meningkat. Untuk beberapa pedagang, menjual produk mereka secara daring merupakan taktik mempertahankan bisnisnya untuk mengatasi dampak pandemi.

Tetapi beberapa pedagang melihat s-commerce sebagai peluang untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dan terus melanjutkan praktiknya bahkan setelah pembatasan ini dicabut. 

Melansir CNA, direktur eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum atau the Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Think Tank, Bhima Yudhistira Adhinegara menyebutkan, “tidak mengherankan jika melihat toko-toko saat ini melayani pelanggan secara luring dan daring, sementara yang lainnya memutuskan untuk fokus pada penjualan daring sepenuhnya.” 

Pasalnya s-commerce memiliki potensi besar dalam keberlanjutan usaha. Melansir dari CNA, Hariyanti, seorang pedagang sepatu di pusat perbelanjaan di Jakarta menyebutkan tokonya bisa menjual rata-rata 100 pasang sepatu setiap hari secara daring. Sedangkan secara luring hanya laku 20 hingga 30 pasang sepatu saja. 

Dikutip dari CNA, Widya Kusuma, seorang pedagang jilbab di pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, menyebutkan kehadiran s-commerce dapat meraup keuntungan lebih banyak dari pada sebelum pandemi. Setelah itu, Widya tidak lagi melanjutkan sewa kiosnya dan berfokus untuk jualan secara daring.

Momentum Works menyebutkan, tahun lalu, TikTok memiliki volume transaksi US$4,4 miliar atau Rp66 triliun (kurs Rp15.000) di seluruh Asia Tenggara, naik dari US$600 juta (Rp9 triliun) pada 2021.

Berdampak ke Pusat Perbelanjaan

Fenomena s-commerce ini memberikan dampak bagi pusat perbelanjaan. Melansir CNA, perusahaan real estate Colliers dalam laporan bulan April, menyebutkan meskipun pemerintah telah mencabut status pandemi dan menghapus semua batasan, pusat perbelanjaan di Jakarta belum kembali seperti sebelum pandemi.

Selama tiga bulan pertama tahun 2023, pusat perbelanjaan di Jakarta memiliki tingkat hunian 69 persen. Jauh lebih sedikit dibandingkan pada kuartal terakhir 2019 sebelum pandemi dengan tingkat hunian 79,8 persen.

Namun pusat perbelanjaan yang melayani merek-merek mewah dan premium memiliki tingkat hunian yang lebih baik. Pada kuartal pertama 2023, pusat perbelanjaan dengan pangsa pasar menengah keatas terisi sebanyak 84,5 persen. Hal tersebut berbeda dengan pusat perbelanjaan yang melayani pasar menengah dan bawah. Selama periode yang sama, pusat-pusat perbelanjaan tersebut memiliki memiliki tingkat hunian rata-rata 47 persen.

Adhinegara menyebutkan masa depan terlihat kurang baik bagi pusat perbelanjaan yang menargetkan pasar menengah ke bawah. Hal itu karena sebagian besar barang yang dijual sudah tersedia secara daring. Selain itu banyaknya diskon yang ditawarkan platform membuat banyak pelanggan lebih memilih berbelanja secara daring.

Sikap Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) mengenai s-commerce ini pada 21 Juli 2023 menyebutkan akan tetap mendukung dan melindungi konsumen. “Prinsipnya perlindungan terhadap konsumen dan juga menumbuhkan daya kreativitas masyarakat juga tidak boleh mati,” ujar Menkominfo, Budi Arie Setiadi.