Photo by DSD: https://www.pexels.com/photo/man-holding-an-umbrella-1822605/
Gaya Hidup

Filosofi Wabi-sabi, Mengagumi Ketidaksempurnaan dari Jepang

  • Wabi-sabi adalah bentuk seni Jepang yang mendefinisikan konsep kecantikan melalui ketidaksempurnaan yang hadir

Gaya Hidup

Rumpi Rahayu

JAKARTA - Kita hidup di zaman modern yang serba lengkap dan harus sempurna. Semua orang terus menerus mengejar kesempurnaan dalam berbagai aspek hingga menyebabkan depresi, cemas, stres dan tidak bahagia. 

Selain itu gaya hidup tidak pernah merasa cukup dan selalu mengikuti tren juga menjadi hal yang mudah ditemui di keseharian. Tak urung orang-orang menjadi sangat konsumtif dalam membeli barang.

Jepang memiliki filosofi bernama Wabi-sabi. Melansir dari laman website japanobjects, Wabi-sabi terdiri dari dua karakter kanji yaitu wabi yang baru muncul pada abad ke-15 untuk menunjukkan kepekaan estetika pada upacara minum teh. 

Wabi kemudian didefinisikan sebagai istilah yang merujuk kepada kesepian atau melankolis, hingga apresiasi kehidupan yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Sementara kata sabi berasal dari abad ke-8, yang merujuk pada kegiatan merenung pada apa yang sudah tua dan usang dengan cara yang menyenangkan. Akhirnya istilah ini digunakan untuk mendefinisikan keindahan benda yang pudar atau layu. Sabi juga bisa berarti "tua dan anggun" atau "berkarat" dengan kesan damai yang tidak bisa diterjemahkan.

Istilah Wabi-sabi bagi orang Jepang lebih merujuk pada sebuah perasaan daripada sebuah konsep, yang dapat ditemukan dalam estetika klasik Jepang: merangkai bunga, sastra, filosofi, puisi, upacara minum teh dan lain-lain. Wabi-sabi bertentangan dengan konsumsi berlebihan dan mendorong kesderhanaan dan keaslian dalam segala hal.

Asal usul penggunaan istilah Wabi-sabi dapat ditemukan dalam kisah Sen no Rikyu, yaitu biksu Zen pada abad keenam belas yang juga seorang master teh paling berpengaruh. Menurut legenda, Rikyu muda sangat ingin mempelajari ritual leluhur tentang upacara minum teh sehingga ia pergi mencari ahli teh bernama Takeena Joo.

Takeena menguji Rikyu dan menyuruhnya untuk menyapu taman. Akhirnya Rikyu membersihkan taman itu dan menyapunya hingga bersih sempurna. Namun sebelum laporan kepada gurunya, ia memutuskan untuk mengguncang pohon sakura sehingga bunga-bunga sakurapun berjatuhan. Sentuhan ketidaksempurnaan ini membawa keindahan ke pemandangan dan dari situlah konsep wabi sabi lahir.

Dengan menggunakan benda-benda yang tidak sempurna, terkadang rusak dan diperbaiki, di ruangan tanpa barang-barang yang berlebihan, Rikyu menjadikan momen mencicipi teh sebagai upacara suci dengan prinsipprinsip harmoni, kemurnian, rasa hormat, dan ketenangan. Upacara semacam ini juga disebut sebagai wabi-cha (cha dalam bahasa Jepang untuk teh).

Wabi-sabi adalah bentuk seni Jepang yang mendefinisikan konsep kecantikan melalui ketidaksempurnaan yang hadir. Wabi-sabi sangat cocok diterapkan untuk masyarakat modern sekarang ini. 

Wabi-sabi mendorong seseorang untuk lebih berfokus pada keindahan sesuatu yang telah mereka memiliki alih-alih mengharapkan sesuatu lain yang tidak kita miliki. Filosofi Wabi-sabi juga akan mendorong seseorang untuk menerima kekurangan, ketidaksempurnaan dan fokus menyusukuri apa yang dipunya saat ini. Penerapan Wabi-sabi tentu akan memberikan perasaan yang tenang, harmonis, dan bahagia.