<p>Mitra Driver Gojek menunggu customer di dekat logo Bank Jago di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Selasa, 16 Februari 2021. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Industri

Fraud Uang di Bank (Serial 2): Tren Serba Daring, Aman dari Maling?

  • Laporan khusus mengenai kejahatan pembobolan dana nasabah di bank, apakah akan berlanjut ke bank-bank digital?

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Kemunculan pandemi COVID-19 tiba-tiba mengubah hajat hidup banyak orang. Siapa sangka, dunia mendadak menggantungkan banyak aktivitasnya pada ketersediaan dalam jaringan (daring/internet), mulai dari sekolah hingga melakukan transaksi keuangan.

Tak ayal, istilah digitalisasi kian nyaring bunyinya di mana-mana. Bukan sekadar tren sementara, namun digitalisasi berubah menjadi kebutuhan masyarakat di era pascapandemi.

Sontak, pelayanan publik kini harus hadir di genggaman masyarakat. Termasuk layanan perbankan, tak heran jika saat ini industri perbankan berlomba-lomba bertransformasi agar tak ditinggal pergi nasabah.

Nabil, seorang fresh graduate (23) dan Henry, pensiunan (66) memiliki pengalaman berbeda menjalani era serba digital ini. Kepada reporter TrenAsia.com, keduanya bercerita tentang tantangan beradaptasi dengan layanan perbankan.

Sebagai seorang generasi Z, Nabil tak mengalami kendala berarti dalam penggunaan layanan digital. Nabil memang sejak sebelum pandemi sudah akrab dengan aktivitas cashless.

“Lebih nyaman seperti ini, semua bisa lewat ponsel. Tapi takut juga kalau kena peretasan,” kata Nabil.

Di sisi lain, Henry justru sedikit mengalami kesulitan untuk terbiasa dengan layanan digital. Dulu, ia terbiasa mengurus semua transaksi langsung ke kantor cabang bank. Bahkan, ia tidak memiliki kartu ATM.

Sejak pandemi inilah, ia harus memaksa diri berkenalan dengan beragam fitur digital. Awalnya, ia menyerahkan semua kepada anak dan cucu. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ia merasa butuh untuk melakukan transaksi seorang diri.

“Dulu, saya itu takut kalau urusannya sama uang. Buat saya cara paling aman ya datang ke bank, diurus sama yang paham. Sekarang harus urus sendiri di ponsel, jadi harus dibimbing sama orang rumah,” jelas Achmad.

Nasabah Pintar
Nasabah mengunakan mesin customer service di gerai Bank Mandiri KCP Senayan City, Jakarta, Selasa, 6 April 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Ingar-bingar masifnya perkembangan teknologi di industri keuangan tak luput dari celah sistem keamanan. Kian canggihnya teknologi tak membuat peluang terjadinya kejahatan siber memudar.

Ini tercermin dari masih banyaknya kejadian yang mencoreng nama baik perbankan seperti hilangnya uang nasabah, salah transfer, hingga pencurian yang menimpa sejumlah perbankan nasional mulai dari bank kecil hingga kelas kakap.

Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja menilai, kejahatan di industri perbankan harus dilihat dari berbagai aspek. Sehingga tidak melulu harus dilihat dari kelemahan dari sisi perbankan. 

Seperti kasus uang hilang di bank juga disebabkan oleh kealpaan nasabah itu sendiri. Penyebabnya banyak, yang paling sering terjadi adalah ketidakpahaman akan teknologi dari sisi nasabah.

“Kita kenal dengan gagap teknologi (gaptek), sehingga banyak oknum yang memperdayai nasabah akibat ketidakpahaman akan teknologi yang dikenal dengan social engineering (SocEng),” ungkap Ardi saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com beberapa waktu lalu.

Kunci utama untuk menekan risiko itu adalah penekanan pada segi edukasi kepada nasabah.

“Tidak semua nasabah itu siap beradaptasi ke digital, namun dipaksakan tanpa edukasi sebab dianggap sudah tech savvy hanya karena memiliki ponsel pintar,” tegasnya.

Perbankan dan regulator, lanjut Ardi juga hendaknya mulai memikirkan pemberian insentif kepada nasabah agar mau mengikuti pelatihan digital. Adapun, format pelatihan dapat dikemas dalam berbagai bentuk dan akan bergantung bagaimana ide kreatif dari industri perbankan dan regulator dengan pemahaman mendalam tentang perilaku nasabah.

Keamanan Internal
Karyawan mengecek ruangan video banking di gerai BCA Mal Gandaria City, Jakarta Selatan, Kamis, 22 Oktober 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Persoalan kejahatan siber tak hanya menitikberatkan pada edukasi nasabah, melainkan juga mitigasi dan kesiapan industri perbankan. Bercermin dari masih banyaknya kasus yang disebabkan oleh faktor internal bank, Ardi menyarankan industri keuangan memperbaharui Standar Operasional Prosedur (SOP) sesuai dengan modus kejahatan yang ada saat ini.

“SOP yang ada saat ini bisa dikatakan sudah kedaluwarsa ya, jadi tidak merefleksikan keadaan dan modus-modus kejahatan di industri keuangan saat ini,” kata dia.

Salah satunya dalam proses rekrutmen sumber daya manusia (SDM). Industri jasa keuangan perlu menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan terkini, di antaranya psikiatri forensik untuk melakukan profilling dalam mengenali calon pegawai.

“Cara ini bisa menjadi alat deteksi dini rekrutmen SDM bagi industri-industri kritis seperti perbankan dan lainnya,” lanjut Ardi.

Di samping itu, ia menilai sebetulnya industri keuangan telah memiliki instrumen mitigasi yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh regulator. “Sayangnya, hanya sedikit sekali yang mau berpikir untuk menggunakan lebih di atas persyaratan minimal atau beyond standard untuk selangkah lebih maju dari penjahat siber.”

Pasalnya, ia meyakini tidak ada sistem yang 100% sempurna, sehingga penyempurnaan terus dibutuhkan apalagi berkaitan dengan pencegahan kejahatan di dunia siber. Artinya, industri juga perlu memberikan edukasi kepada pegawai dan masyarakat mengenai berbagai macam jenis ancaman siber.

“Semua celah dari sisi kelalaian nasabah, hingga orang dalam di bank adalah bom waktu yang sudah lama diketahui. Jangan puas dengan regulasi standar, harus lebih maju dari penjahat siber,” tandasnya.

Kesiapan Infrastruktur Bank Digital
Nasabah usai mengunakan fasilitas self help di gerai Bank Mandiri KCP Senayan City, Jakarta, Selasa, 6 April 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Jika kesiapan nasabah dan SDM bank sudah memadai, kejayaan era bank digital sudah di depan mata. Sebab, dari segi infrastruktur teknologi Ardi melihat industri perbankan dan keuangan.

Akan tetapi, terdapat satu faktor yang tidak disadari yakni semua teknologi infrastruktur yang digunakan saat ini adalah impor. Sehingga, kelemahan-kelemahan yang ada tidak selalu terdeteksi atau diantisipasi.

Menyadari potensi dan ancaman bank digital, GM Divisi e-Banking PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), Sri Indira mengatakan perseroan telah melengkapi mobile banking yang menjamin keamanan nasabah.

Fitur yang dimiliki BNI saat ini adalah penggunaan password access, password transaksi, notifikasi baik melalui email maupun SMS. Termasuk, melengkapi keamanan transaksi dengan password menggunakan deteksi face recognition.

“Itulah fitur keamanan yang kami lengkapi, tidak hanya kenyamanan kepada nasabah tetapi juga menjamin keamanan bertransaksi dari nasabah,” kata Sri beberapa waktu lalu.

Fitur yang paling umum saat ini adalah ketersediaan kode one time password (OTP) sistem perseroan. Kode ini biasa digunakan saat nasabah melakukan transaksi via kartu debit dan kredit untuk berbelanja secara daring. 

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI)  misalnya bahkan memiliki sistem anti fraud untuk meminimalisasi tindak kecurangan dalam transaksi digital. Sistem tersebut bernama Fraud Risk Management System (FRMS).

Menyempurnakan semua upaya peningkatan sistem digital perbankan, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Heru Kristiyana menjelaskan semua aturan ini akan tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) mengenai bank umum yang rencananya akan meluncur semester pertama tahun ini.

Heru menilai, aspek perlindungan nasabah menjadi sangat penting dalam operasional bank digital. Oleh karenanya, aspek kemanan mutlak dipenuhi dalam penyelenggaraan bank digital.

Aspek perlindungan ini dalam POJK akan kita tekankan demi memastikan aspek perlindungan nasabah, serangan cyber tidak boleh diabaikan,” katanya dalam webinar pekan lalu. (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus bersambung terakhir berjudul “Fraud Uang di Bank.”

  1. Fraud Uang di Bank (Serial 1): Deretan Kasus Kakap Pembobolan Duit Nasabah