Arifin Tasrif Menteri ESDM dan Freeport
Energi

Freeport Diminta Pakai Energi Bersih Agar Tak Boncos Kena Pajak Karbon

  • Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif meminta, PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk mulai menggunakan energi bersih dalam mendukung kegiatan usaha pertambangan.

Energi

Debrinata Rizky

JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif meminta PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk mulai menggunakan energi bersih dalam mendukung kegiatan usaha pertambangan.

Arifin menyebut, hal ini sebagai bentuk adaptasi terhadap tren masyarakat dunia yang bergeser ke arah energi bersih. Menurutnya, banyak negara di dunia sudah mulai mengenakan pajak karbon.

"Jika memiliki karbon tinggi, maka akan dikenakan pajak. Singapura sudah mulai dengan US$5 dan diperkirakan pajaknya naik jadi US$50 pada 2050," ujar Arifin kepada media, dikutip Senin, 11 Desember 2023.

Baca Juga: Menteri ESDM: Perpanjangan Kontrak Freeport Tunggu Revisi PP 96 Tahun 2021

Kebijakan negara - negara tersebut, juga harus segera diantisipasi perusahaan-perusahaan di Indonesia khsusunya PTFI agar tidak dirugikan dengan pengenaan pajak tinggi terhadap produk yang dihasilkan karena memiliki konten karbon tinggi dari produknya.

Arifin mengatakan, sumber-sumber energi bersih sangat banyak tersedia di Indonesia, misalnya energi bayu (angin) yang potensi mencapai 500 gigawatt (GW) dan menjadi modal untuk dapat diutilisasi.

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Direktur PTFI Tony Wenas mengatakan, PTFI berkomitmen untuk mengurangi intensitas emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 30% di tahun 2030. Pada tahun 2021, pengurangan emisi GRK pada kegiatan operasi PTFI mencapai 22% (dibandingkan 2018).

"Sebagian besar dikarenakan transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah, dimana kami menggunakan sistem kereta listrik otomatis bawah tanah," ujar Tony.

Tony menambahkan, PTFI juga saat ini sedang mengembangkan PLTMG atau pembangkit listrik bahan bakar minyak dan gas. PLTMG tersebut akan memiliki kapasitas 168MW, dan diharapkan beroperasi tahun depan.

Selanjutnya Tony mengatakan, logam tembaga merupakan produk masa depan karena 65% produk tembaga dunia digunakan sebagai penghantar listrik dan sekarang ini negara-negara berlomba lomba menggunakan pembangkit energi bersih sehinnga akan membutuhkan tembaga lebih banyak lagi.

Baca Juga: Mengenal Pajak Karbon: Tujuan, Prinsip, Manfaat hingga Landasan Hukum

Apa itu Pajak Karbon?

Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar fosil seperti bensin, avtur, gas, serta lain-lain. Sederhananya, pajak ini akan dikenakan pada mereka yang menggunakan bahan bakar tersebut.

Dilansir dari situs DJP Kemenkeu, pajak karbon bertujuan mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca sebagai langkah memerangi pemanasan global. Menerapkan pajak karbon di Indonesia dapat membantu mengurangi pemanasan dunia serta mengendalikan perubahan iklim, serta meningkatkan pendapatan pajak pemerintah serta menaikkan efisiensi tenaga bagi konsumen serta bisnis.

Tujuan Pengenaan Pajak Karbon

1. Bertujuan untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.

2. Mendukung target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan panjang.

3. Mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.

Prinsip-prinsip Penerapan Pajak karbon

1. ADIL: berdasarkan pada “prinsip pencemar membayar” (polluters-pay-principle).

2. TERJANGKAU: memperhatikan aspek keterjangkauan demi kepentingan masyarakat luas.

3. BERTAHAP: memperhatikan kesiapan sektor agar tidak memberatkan masyarakat.

Manfaat Pajak Karbon

Pengenaan pajak karbon memiliki berbagai manfaat bagi negara, yakni:

1. Pengurangan emisi gas rumah kaca dari sumber emisi.

2. Penerimaan Pajak Karbon dapat digunakan untuk:

  • Menambah dana pembangunan.
  • Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
  • Investasi ramah lingkungan.
  • Dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial.

Landasan Hukum Pajak Karbon

Landasan hukum Pajak karbon telah ditetapkan, sedangkan aturan-aturan turunan sedang disusun. Hukum yang melandasi pajak karbon ada 2, yaitu UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan NEK.

UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan – Pasal 13

Pokok-pokok pengaturannya adalah:

• Pengenaan: dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.

• Arah pengenaan pajak karbon: memperhatikan peta jalan pasar karbon dan/atau peta jalan pajak karbon yang memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan serta keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.

• Prinsip pajak karbon: prinsip keadilan dan keterjangkauan dengan memperhatikan iklim berusaha, dan masyarakat kecil.

• Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan NEK - Pasal 58

Pokok-pokok pengaturannya adalah:

• Pungutan Atas Karbon didefinisikan sebagai pungutan negara baik di pusat maupun daerah, berdasarkan kandungan karbon dan/atau potensi emisi karbon dan/atau jumlah emisi karbon dan/atau kinerja Aksi Mitigasi.

• Selanjutnya, pengaturan atas pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, Pungutan Atas Karbon dapat berupa pungutan negara yang sudah ada (misalnya Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar, dan PPnBM), maupun pungutan lain yang akan diterapkan (misalnya pengenaan Pajak Karbon).