Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM–SPSI), Sudarto AS bersama sejumlah anggota menyatakan sikap menolak keras dan kecewa atas upaya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang bersikukuh mendorong aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek  lewat Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) dalam acara Media Briefing di Cimanggis, Depok, 30 Oktober 2024.
Nasional

FSP RTMM-SPSI Telah Berupaya Dialog Soal Penyeragaman Kemasan Rokok, Namun Pemerintah Mengabaikan

  • Dalam dialog dengan pihak pemerintah, serikat pekerja berharap dapat menemukan solusi yang saling menguntungkan.

Nasional

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA — Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS, menegaskan bahwa pihaknya menolak rencana penyeragaman kemasan produk rokok yang diinisiasi oleh pemerintah. 

Menurutnya, kebijakan ini akan berdampak signifikan bagi para pekerja di industri rokok yang sudah terdampak oleh berbagai kebijakan fiskal dan non-fiskal. Sudarto juga menyampaikan bahwa serikat pekerja telah berusaha berdialog dengan pemerintah, namun merasa diabaikan. 

Penolakan Penyeragaman Kemasan dan Langkah Awal Dialog 

Sudarto menjelaskan bahwa FSP RTMM-SPSI telah menolak rencana penyeragaman kemasan produk rokok sejak lama. 

Sebagai bagian dari upaya memperjuangkan nasib para pekerja, Sudarto mengatakan bahwa serikat pekerja telah mengajukan berbagai pendekatan, mulai dari menyampaikan aspirasi melalui surat hingga menggelar audiensi dan mengundang Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk berdialog. 

"Kami adalah serikat buruh yang menghargai dialog. Kami sudah mengirimkan surat, menyampaikan aspirasi, melakukan audiensi, dan mengundang Kemenkes untuk berdialog. Namun, mereka menghindari kami," ungkap Sudarto saat ditemui seusai media briefing di Jakarta, Kamis, 30 Oktober 2024. 

Demonstrasi pada 10 Oktober lalu menjadi puncak kekecewaan serikat pekerja terhadap pemerintah. Menurut Sudarto, demonstrasi tersebut diadakan sebagai bentuk protes setelah berbagai usaha diplomasi yang dilakukan oleh pihaknya tidak direspons oleh pemerintah.

Baca Juga: Petani Minta Pemerintah Batalkan Rencana Aturan Penyeragaman Kemasan Rokok Tanpa Identitas Merek

Harapan Dialog dengan Pemerintah 

Sudarto mengungkapkan bahwa dalam dialog dengan pihak pemerintah, serikat pekerja berharap dapat menemukan solusi yang saling menguntungkan. Namun, dia menyayangkan bahwa dialog tersebut masih terkesan berbelit-belit dan belum menunjukkan kejelasan langkah tindak lanjut dari pemerintah. Meski telah berjanji akan memberi ruang diskusi bagi FSP RTMM-SPSI, hingga saat ini belum ada tindak lanjut nyata dari pemerintah. 

"Bahkan, saya tidak mau mencari drafnya di media sosial; saya meminta langsung dari mereka. Draf yang saya terima memang menunjukkan indikasi penyeragaman kemasan," ujarnya. 

Sudarto juga menjelaskan bahwa pihaknya berencana untuk mengirimkan surat kepada Presiden untuk mendapatkan perhatian langsung terkait masalah ini. "Kami akan menindaklanjuti ini melalui surat, tidak hanya kepada Kemenkes tetapi juga kepada Presiden. Sampai sekarang, kami masih menunggu respons," katanya. 

Respons dari Kementerian Lain 

Sudarto menyebutkan bahwa belum ada kementerian lain yang memberikan langkah konkret terhadap masalah ini, seperti Kementerian Perdagangan atau Kementerian Perindustrian. Namun, dia mengapresiasi inisiatif dari Menteri Tenaga Kerja yang baru yang telah mengundang serikat pekerja untuk berdiskusi. 

"Dalam pertemuan itu, kami mengajukan tiga poin utama, yaitu supremasi hukum ketenagakerjaan, hak berserikat dan berunding, serta isu global terkait kesehatan dan lingkungan yang berdampak besar pada tenaga kerja," jelas Sudarto. 

Dia berharap bahwa Menteri Tenaga Kerja yang baru dapat lebih tegas menyuarakan isu-isu yang relevan dengan dampak kebijakan global terhadap industri tembakau di Indonesia. 

"Kebijakan global yang diadopsi Indonesia sering kali tidak memperhatikan dampak terhadap tenaga kerja. Kami sedang menyusun paper khusus untuk diserahkan kepada Menteri Tenaga Kerja agar lebih memahami situasi ini," ujar Sudarto. 

Menurutnya, kebijakan internasional seperti *Framework Convention on Tobacco Control* (FCTC) yang diadopsi Indonesia berdampak besar bagi pekerja di industri tembakau. 

"Kebijakan di negara yang tidak memproduksi rokok mungkin tidak terlalu berdampak, tetapi di Indonesia, dengan pabrik rokok yang sudah ada sejak lama, aturan yang sepenuhnya mengadopsi FCTC berdampak besar bagi kami," paparnya. 

Dampak Pengetatan Regulasi terhadap Pekerja 

Sudarto menekankan bahwa kebijakan penyeragaman kemasan dan kebijakan lain yang membatasi produksi dan penjualan rokok akan paling berdampak pada para pekerja. Ia menyatakan bahwa para pekerja kehilangan lapangan pekerjaan akibat regulasi yang semakin ketat, baik dari sisi fiskal maupun non-fiskal. 

"Kalau pengusaha mungkin bisa beralih usaha, tetapi bagi pekerja, tidak ada pengganti lapangan kerja yang hilang. Ini adalah masalah besar. Dalam sembilan tahun saya memimpin Serikat RTMM, ada sekitar 67 ribu lebih anggota yang kehilangan pekerjaan," ungkap Sudarto. 

Dia juga menambahkan bahwa kebijakan cukai yang terus meningkat setiap tahun membuat harga rokok semakin mahal, dan hal ini berdampak pada penurunan daya saing industri tembakau legal. 

"Industri rokok ini dihantam dari dua sisi: fiskal dan non-fiskal. Setiap tahun cukai naik, harga rokok makin tinggi, rokok ilegal bertumbuh. Belum lagi regulasi yang membatasi produksi, peredaran, konsumsi, hingga penjualan," jelasnya. 

Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja dan Tantangan Bagi Serikat Pekerja 

Sudarto mengungkapkan bahwa dampak dari pengetatan regulasi ini sudah terasa dengan meningkatnya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri rokok. Serikat pekerja merasa terjepit karena tidak bisa meningkatkan kesejahteraan anggota akibat kondisi industri yang tidak bisa tumbuh. 

Setiap dua tahun sekali, serikat pekerja harus berunding untuk perjanjian kerja bersama (PKB), namun kondisi industri yang semakin terhimpit membuatnya sulit untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. 

"Kami berharap bisa meningkatkan kesejahteraan, tetapi industri ini terjepit, tidak bisa tumbuh, bahkan ditekan setiap tahun baik dari sisi fiskal maupun non-fiskal. Dampak PHK ini sudah terjadi," ujarnya. 

Langkah Lanjutan Jika Pemerintah Tidak Merespons 

Menutup pernyataannya, Sudarto menyatakan bahwa pihaknya akan terus memperjuangkan hak dan nasib para pekerja melalui berbagai cara, termasuk melalui media dan kegiatan dengan kementerian lainnya. 

Namun, jika pemerintah tetap mengabaikan aspirasi mereka, FSP RTMM-SPSI siap untuk mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan undang-undang untuk mencari perlindungan bagi para pekerja. 

"Kami berharap pemerintah tidak mengabaikan kami, karena kami sudah menjadi pihak yang terdampak selama ini. Bentuk aksinya nanti akan menyesuaikan, tergantung sejauh mana keberanian pemerintah untuk mengabaikan kami," tutup Sudarto.