Ilustrasi Pengguna Paylater.
IKNB

Galbay Paylater Bisa Bikin Anak Muda Susah Dapat Kredit, Industri Harus Perkuat Mitigasi

  • Keharusan bagi penyelenggara BNPL untuk memitigasi risiko galbay pun semakin menjadi keniscayaan karena saat ini, riwayat pembayaran Paylater sudah tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keliling (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

IKNB

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Industri Buy Now Pay Later (BNPL) harus memperkuat mitigasi risiko gagal bayar (galbay) agar anak muda tidak kesulitan untuk mengajukan kredit di kemudian hari. 

Direktur Ekonomi Digital CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Nailul Huda mengatakan, saat ini, dengan industri Paylater yang kini sudah tidak bisa dibilang muda lagi, seharusnya penyelenggara BNPL bisa lebih memperkuat mitigasi untuk menjaga keberlanjutan bisnis. 

Keharusan bagi penyelenggara BNPL untuk memitigasi risiko galbay pun semakin menjadi keniscayaan karena saat ini, riwayat pembayaran Paylater sudah tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keliling (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

“Di satu sisi, sebenarnya kita berharap BNPL ini kan meningkat terus, tapi bukan berarti hanya menjaring sebanyak-banyaknya debitur, tapi yang kita harapkan adalah kualitas dari debiturnya yang meningkat. Makanya, industri BNPL harus bisa fokus ke sustainability bisnisnya dengan mengedepankan quality over quantity dengan menjaga kualitas yang meminjamnya itu tidak sembarangan,” papar Nailul saat ditemui seusai acara peluncuran Laporan Perilaku Pengguna Paylater Indonesia 2024 di Jakarta, Selasa, 25 Juni 2024.

Integrasi Paylater dan SLIK OJK sebagai Mitigasi

Menurut Nailul, integrasi Paylater dengan SLIK OJK sendiri sudah merupakan langkah mitigasi dari regulator untuk menekan risiko gagal bayar. 

Dengan masuknya catatan historis pelunasan Paylater ke SLIK OJK, diharapkan nantinya dari sisi nasabah sebagai debitur maupun penyelnggara selaku kreditur akan lebih berupaya untuk menjaga kualitas pinjaman.

“Ketika Paylater ini masuk ke SLIK OJK, itu sangat kami apresiasi karena di sana ada langkah untuk menurunkan gagal bayar,” katanya. 

SLIK OJK ini menjadi suatu langkah penting dari regulator untuk memastikan kualitas bisa mengalahkan kuantitas dalam konteks inklusi jasa Paylater. 

Pasalnya, tidak dapat dipungkiri bahwa layanan pinjaman konsumtif dengan akses yang mudah, fleksibel, dan cepat seperti Paylater adalah suatu jenis jasa keuangan yang cenderung lebih memudahkan nasabah untuk mengajukan pinjaman dibanding industri perbankan. 

Berhubung aksesnya sendiri lebih mudah dibanding bank, bahkan anak-anak muda di usia 18-19 tahun pun bisa memperoleh pinjaman walaupun mereka belum memiliki penghasilan. Akibatnya, risiko gagal bayar pun semakin tinggi.

Lebih Baik Melandai daripada Kualitas Memburuk

Nailul menyampaikan bahwa lebih baik jika pertumbuhan penggunaan Paylater melambat. Pasalnya, seperti yang ia sampaikan sebelumnya, saat ini Paylater bukan lagi harus fokus kepada pertumbuhan pengguna, melainkan meningkatkan kualitas pinjaman. 

Bahkan, dengan adanya integrasi SLIK OJK dan upaya untuk menjaga kualitas pinjaman dari para pelaku BNPL, ke depannya Nailul meramalkan pertumbuhan pengguna akan melambat. 

“Kalau growth-nya itu (pengguna Paylater) saya rasa akan lebih landai, tapi yang diharapkan adalah dari debiturnya itu meningkat dari sisi kualitas, bukan dari sisi kuantitas,” tegas Nailul. 

Baca Juga: Agar Tak Jadi Bumerang, Perlu Aturan Soal Paylater

Adopsi Paylater Semakin Meluas

Menjaga kualitas pinjaman semakin krusial seiring dengan adopsi layanan Paylater yang semakin meluas, bahkan hingga ke kota-kota tier 2 dan 3. 

Laporan hasil kerja sama Kredivo dengan Katadata Insight Center (KIC), berjudul "Laporan Perilaku Pengguna Paylater Indonesia 2024", mengungkapkan bahwa Paylater menjadi pilihan kredit pertama bagi mayoritas masyarakat Indonesia dengan persentase mencapai 68%. 

Pada tahun 2023, transaksi offline Paylater tumbuh sebesar 169%, dengan kontribusi mencapai 27,7% dari total transaksi Paylater. 

Melonjaknya penggunaan Paylater untuk transaksi offline didorong oleh kota-kota tier 2 dan 3 yang mendominasi transaksi Paylater offline, dengan persentase sebesar 53,1%, dibandingkan kota tier 1.

Adopsi Paylater untuk transaksi offline memberi kemudahan bagi masyarakat di tier 2 dan 3 untuk berbelanja tanpa hambatan infrastruktur digital dan tingginya ongkos kirim. 

Hal ini menjadi peluang bagi merchant offline dan penyedia layanan Paylater untuk meningkatkan kerja sama dan mengintegrasikan layanan keuangan digital.

Transaksi Paylater online tetap dominan di kota-kota tier 1 dengan kontribusi 50,5% dari total transaksi di kota tier 1, 2, dan 3. 

Penggunaan Paylater di merchant online merata sepanjang tahun, berkisar antara 22,9% hingga 26,7% perkuartal, didorong oleh promo e-commerce pada tanggal-tanggal kembar. 

Sepuluh tanggal transaksi online tertinggi terjadi pada tanggal kembar, dengan puncak pada 12 Desember yang mencatat jumlah transaksi 2,11 kali lebih tinggi dari rata-rata harian.

Laporan ini juga mencatat peningkatan penggunaan Paylater untuk pembelian 6 dari 13 kategori produk, termasuk makanan (dari 16,6% pada 2022 menjadi 17,6% pada 2023), kesehatan dan kecantikan (dari 14,4% pada 2022 menjadi 15,8% pada 2023), serta peralatan kantor dan alat tulis (dari 3,1% pada 2022 menjadi 4,2% pada 2023).

Peningkatan jumlah pengguna Paylater berusia 36 tahun ke atas dari 27,8% pada 2022 menjadi 29,6% pada 2023 menunjukkan bahwa Paylater di merchant offline diterima baik oleh kelompok usia yang lebih lambat mengadopsi belanja online. Proporsi transaksi dari rentang usia ini juga meningkat dari 31% pada 2022 menjadi 31,9% pada 2023.