Gapensi Tolak Keras Kenaikkan PPN 12 Persen
- Dengan dinaikkanya PPN dari 11% menjadi 12%, dipastikan dapat memperlambat eksekusi proyek yang sudah direncanakan, terutama proyek-proyek pemerintah.
Makroekonomi
JAKARTA – Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) menolak rencana pemerintah menaikkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menjadi sebesar 12 persen pada 2025. Langkah ini diyakini akan memicu berbagai dampak negatif jika kebijakan tersebut tetap dipaksakan untuk diterapkan.
Sekjen Gapensi, La Ode Safiul Akbar menjelaskan, penolakan tersebut, lantaran kebijakan dinilai akan berdampak langsung pada harga material dan jasa konstruksi, yang akhirnya akan membebani kontraktor dan masyarakat pengguna infrastruktur.
“Gapensi menolak dengan keras rencana ini. Mayoritas anggota Gapensi adalah UMKM konstruksi yang bekerja pada margin tipis, sehingga kebijakan ini berpotensi melemahkan daya saing mereka,” kata La Ode Safiul Akbar dalam keterangan resmi pada Senin 25 November 2024.
- Awali Pekan dengan Positif, IHSG Hari Ini 25 November 2024 Ditutup Menguat ke 7.314,11
- Giliran Prancis Bebaskan Ukraina Gunakan Rudalnya untuk Serang Rusia
- Dividen BUMN Tembus Rp85,5 Triliun, BRI Juara Satu
La Ode menegaskan, dengan dinaikkanya PPN dari 11% menjadi 12%, dipastikan dapat memperlambat eksekusi proyek yang sudah direncanakan, terutama proyek-proyek pemerintah.
Lebih lanjut La Ode menyampaikan, jika pemerintah tetap memaksakan penerapan regulasi yang mendapat banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat ini, maka akan menimbulkan efek berganda, diantaranya kenaikan harga material dan jasa konstruksi akibat PPN dapat membuat anggaran proyek meningkat signifikan.
Akibatnya, pemerintah dan sektor swasta mungkin mengurangi jumlah proyek akibat keterbatasan dana, yang berimbas pada penurunan lapangan kerja. Dengan demikian, infrastruktur seperti properti residensial akan semakin mahal, sehingga mempersempit akses masyarakat terhadap hunian.
“Sektor konstruksi memiliki efek multiplayer yang besar. Jika sektor ini melemah, rantai pasokan material, tenaga kerja, dan jasa lainnya juga terdampak,” kata La Ode.
La Ode berharap, pemerintah dapat menunda kenaikkan tersebut. Pasalnya, sektor konstruksi adalah motor pemulihan ekonomi pasca pandemi. Oleh karena jika ada kenaikan PPN, makan akan membebani fiskal yang dapat menghambat pertumbuhan sektor ini.
Selain itu, kenaikan PPN berdampak pada seluruh rantai ekonomi, sehingga menurunkan daya beli masyarakat, terutama kalangan bawah. Oleh karena itu, daripada menaikkan tarif, pemerintah dapat memaksimalkan potensi penerimaan pajak dengan memperluas basis pajak dan mengurangi kebocoran.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani akan tetap menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang mengatur tarif PPN 12% wajib diterapkan paling lambat pada tanggal tersebut.
“Sudah ada Undang-Undangnya. Kita perlu untuk menyiapkan agar itu bisa dijalankan tapi itu dengan penjelasan yang baik,” ungkapnya, dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, di Gedung Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 13 November 2024.
Ia menjelaskan kenaikan tarif PPN merupakan langkah penting untuk menjaga kestabilan dan kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). PPN adalah pajak yang diterapkan pada setiap nilai tambah barang atau jasa sepanjang proses distribusinya dari produsen hingga konsumen.