Gara-gara Proyek Molor, BPK Denda Konsorsium Rekayasa Industri Rp1,2 Triliun
- Konsorsium RJJ terdiri dari PT Rekayasa Industri (Rekind), JGC Corporation dan JGC Indonesia
Energi
JAKARTA - Proyek pengembangan Lapangan Gas Unitisasi Jambaran-Tiung Biru (JTB) di Bojonegoro, Jawa Timur kembali jadi sorotan. Salah satunya terkait kinerja Konsorsium RJJ sebagai kontraktor pelaksana yang dinilai lamban dalam menyelesaikan proyek bernilai US$1.550 juta itu.
Akibat penyelesaian proyek strategis nasional ini molor, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) untuk menetapkan denda senilai US$82,79 juta atau sekitar Rp1,28 triliun (asumsi kurs Rp15.567 per USD pada 31 Desember 2022).
- Bos Aneka Tambang (ANTM) Proyeksikan Harga Komoditas Emas Melesat di 2024
- Menyingkap Alasan ITMG Akuisisi Saham Suryanesia
- Sukses Genjot Bisnis, Berikut Sederet Program PGN
Konsorsium RJJ terdiri dari PT Rekayasa Industri (Rekind), JGC Corporation dan JGC Indonesia.
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2023 yang dikutip dari website bpk.go.id terungkap bahwa pengembangkan proyek JTB telah menimbulkan potensi kerugian negara hingga senilai Rp 1,59 triliun. Permasalahan tersebut meliputi 1 kelemahan SPI dan 6 ketidakpatuhan.
Laporan BPK juga mengungkapkan bahwa hasil pekerjaan proyek Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) Gas Processing Facility (GPF) yang dilaksanakan oleh Konsorsium RJJ belum sepenuhnya sesuai dengan lingkup pekerjaan pada kontrak dan perubahannya.
Di antaranya terdapat pengurangan lingkup pekerjaan dan deviasi spesifikasi teknis hasil pekerjaan yang belum ditetapkan sebagai contract change order (CCO) pengurang nilai kontrak EPCC GPF sebesar US$6,99 juta. Kelemahan lainnya adalah volume item pekerjaan terpasang yang kurang dari dokumen pendukung pembayaran sebesar US$2,53 juta.
Akibat keterlambatan atas pelaksanaan pekerjaan EPCC GPF membuat adanya kelebihan pembebanan biaya operasi atas hasil pekerjaan EPCC GPF yang tidak sesuai lingkup pekerjaan minimal sebesar US$9,52 juta. Selain itu denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan EPCC GPF berpotensi tidak menambah bagi hasil bagian negara sebesar US$82,79 juta.
Dampak negatif lain akibat molornya proyek yang dimulai tahun 2019 ini adalah potensi pendapatan negara yang hilang dari gas yang tidak dapat dijual untuk periode 20 September- 18 November 2022 minimal sebesar US$5,84 juta.
Lapangan Gas Unitisasi JTB merupakan hasil penggabungan Lapangan Jambaran yang terdapat pada Wilayah Kerja (WK) Cepu dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) operator ExxonMobil Cepu Ltd (EMCL) dan Lapangan Tiung Biru yang terdapat pada WK Nusantara dengan KKKS operator PT Pertamina Eksplorasi Produksi (PT Pertamina EP).
PT Pertamina EP Cepu (PT PEPC), sebagai pemilik partisipasi (participating interest) 45% pada WK Cepu, ditunjuk sebagai Operator Lapangan Gas Unitisasi JTB sejak ditandatanganinya Head of Agreement antara EMCL, PT PEPC, dan PT Pertamina EP tentang Unitisasi Lapangan JTB pada 17 Agustus 2011.
Pada tanggal 20 September 2022, SKK Migas dan PT PEPC telah berhasil melakukan kegiatan on stream gas pada Lapangan Gas Unitisasi JTB dan sampai dengan tanggal 18 November 2022 telah dilakukan lifting gas sebesar 1.391,71 Million Standard Cubic Feet (MMSCF).
Nasib Rekind
Proyek JTB menjadi salah satu beban bagi PT Rekind. Anak perusahaan PT Pupuk Indonesia (PPI) ini mengalami kondisi yang memprihatinkan akibat molornya proyek jumbo tersebut.
Berdasarkan laporan keuangan PT PPI tahun 2022, Rekind tercatat mengalami defisit modal sebesar Rp6,86 triliun. Sementara modal kerjanya juga negatif Rp6,57 triliun dengan arus kas dari aktivitas operasi minus Rp143,31 miliar.
Untuk menjaga kelangsungan bisnisnya, Rekind telah melakukan sejumlah ikhtiar. Diantaranya adalah memaksimumkan usaha untuk memperoleh persetujuan change order (CO) untuk semua proyak yang berjalan, terutama proyek Jambaran Tiung Biru.
Rekind diketahui telah mengajukan CO kepada pemilik proyek JTB senilai US$78 juta.
SVP Corporate Secretary & Legal Rekind Edy Sutrisman mengatakan bahwa perusahaan sedang dalam proses restrukturisasi terkait kewajiban dan juga modal yang negatif.
“Rekind memang dalam proses restrukturisasi bulan September pertengahan kami sudah menentukan paket penyelamatannya seperti apa dan tinggal di eksekusi," jelas Edy kepada TrenAsia.com September lalu.