<p>Pesawat Airbus A330-300 milik maskapai penerbangan BUMN PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. / Airbus.com</p>
Korporasi

Garuda Indonesia di Antara Lilitan Utang dan Ancaman Pailit

  • Pemerintah terpaksa membuka opsi membubarkan (pailit) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) jika proses restrukturisasi utang perusahaan gagal.

Korporasi

Daniel Deha

JAKARTA - Pemerintah terpaksa membuka opsi membubarkan (pailit) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) jika proses restrukturisasi utang perusahaan gagal.

"Kalau mentok, ya kita tutup. Tidak mungkin kita berikan penyertaan modal negara (PMN) karena nilai utangnya terlalu besar," kata Wakil Menteri II BUMN Kartiko Wirjoatmodjo dalam pernyataan resmi, dikutip Selasa, 19 Oktober 2021.

Garuda Indonesia saat ini memiliki utang jatuh tempo pada Mei 2021 senilai US$4,5 miliar setara Rp70 triliun dari total secara keseluruhan yang mencapai Rp140 triliun.

Catatan keuangan GIAA per Juni 2021, total kewajiban perseroan mencapai US$12,96 miliar atau setara Rp180,24 triliun, termasuk pajak, dan lain-lain.

Emiten BUMN penerbangan ini mencatatkan rata-rata penambahan utang sebesar US$79 juta per bulan sepanjang 2020. Sepanjang kuartal I-2021 pun penambahan utang mencapai US$50 juta per bulannya.

Sementara pada Juni 2021, piutang usaha jatuh tempo Garuda Indonesia tercatat sebesar US$190,66 juta, naik dari tahun lalu sebesar US$184,74 juta.

Diduga Korupsi

Garuda Indonesia saat ini memiliki utang jatuh tempo pada Mei 2021 senilai US$4,5 miliar setara Rp70 triliun dari total secara keseluruhan yang mencapai Rp140 triliun. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Utang  maskapai berkode saham GIAA ini terus membengkak karena kondisi gagal bayar utang jatuh tempo kepada kreditur sejak tahun lalu. Kondisi gagal bayar utang disebabkan dampak pandemi COVID-19.

Akibat pandemi, per 30 Juni 2021, GIAA mengalami kerugian US$901,7 juta dan liabilitas jangka pendek melebihi aset lancarnya sejumlah US$4,66 miliar sehingga mengalami defisiensi ekuitas US$2,84 miliar.

Beberapa pihak menyebut, utang Garuda Indonesia yang menggunung diduga merupakan puncak dari permasalahan praktik rente di dalam tubuh perseroan yang mengakar sejak lama, terutama dalam negosiasi dengan lessor yang diketahui berjumlah 30 badan usaha.

Praktik rente di balik perjanjian Garuda Indonesia dan lessor itulah yang membuat maskapai pemerintah ini terlilit masalah keuangan yang baru tertungkap belakangan.

Menteri BUMN Erick Thohir baru-baru ini mengendus bahwa perusahaan-perusahaan pelat merah yang terlilit masalah utang pada umumnya terlibat dalam praktik korupsi.

Dia menduga, jajaran direksi BUMN-BUMN tersebut memanfaatkan bisnis perseroan untuk meraup keuntungan pribadi.

Tidak hanya PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) dan tujuh BUMN yang segera dibubarkan, Erick secara implisit mencurigai bahwa perusahaan yang dikelola pemerintah ini juga telah melakukan proses bisnis yang salah.

Erick mengakui kesalahan bisnis Garuda Indonesia menjadi pelajaran bagi seluruh perusahaan negara. Di mana saat ini, Garuda tengah menanggung beban kerja dan keuangan akibat tingginya utang karena biaya sewa pesawat yang di luar batas wajar.

Erick mencatat, leasing pesawat Garuda mencapai 28% atau tertinggi di dunia. Hal ini menjadi sebab lain emiten menanggung beban keuangan yang berisiko pailit.

"Ada 36 lessor yang memang harus kami petakan ulang, mana lessor yang sudah masuk kategori dan kerja sama pada kasus yang sudah dibuktikan koruptif, itu yang pasti kami akan standstill (moratorium) bahkan negosiasi keras," ucapnya.

Dia mengatakan, untuk lessor yang tidak bermasalah didorong agar melakukan negosiasi. Sebab, beban pembayaran kepada para lessor tersebut dirasa berat pada masa pandemi COVID-19 sekarang ini.

"Beban kedua terberat yaitu memang kami harus berani mengubah bisnis model tidak hanya Garuda tapi banyak perusahaan BUMN pasca covid-19," paparnya.

Banyak pihak juga menilai, proses bisnis Garuda Indonesia dengan para lessor syarat korupsi sehingga justru merugikan perusahaan secara internal.

Restrukturisasi Utang

Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Irfan Setiaputra. / Facebook @irfan.setiaputra

Kondisi gagal bayar Garuda Indonesia membuat sejumlah lessor-nya melakukan gugatan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sepanjang dua tahun terakhir, terutama lessor asing.

Dalam menghadapi gugatan PKPU tersebut, Garuda Indonesia menempuh langkah advokasi dan negosiasi sehingga beberapa lessor kembali membatalkan PKPU.

Di dalam negeri, Garuda Indonesia pekan lalu digugat PKPU oleh My Indo Airlines.  Belum diketahui latar gugatan tersebut, tetapi kedua perusahaan pada 26 Januari 2019 bekerjasama meluncurkan layanan cargo freighter

Layanan cargo freighter tersebut dioperasikan dengan armada B737-300F berkapasitas 15 ton angkutan kargo.

Garuda Indonesia juga berhadapan dengan utang yang menggunung ke sejumlah bankdan perusahaan negara yang jatuh temponya rata-rata terjadi tahun ini.

Untuk mendapat keringanan pembayaran kredit, Garuda Indonesia terpaksa melakukan proses restrukturisasi utang kepada 11 kreditur.

Tengah tahun ini, 11 kreditur Garuda Indonesia sepakat menandatangani perjanjian restrukturisasi berupa perubahan waktu jatuh tempo pembayaran kredit rata-rata jatuh tempo tiga tahun.

PT BRI (Persero) Tbk dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sepakat menangguhkan pokok dan bunga masing-masing hingga 29 Juni 2022 dan 22 Juni 2022. Demikian halnya dengan PT BNI (Persero) Tbk, menangguhkan pokok dan bunga hingga 22 Juni 2022.

Sementara itu, PT Bank Pan Indonesia Tbk atau Bank Panin menangguhkan pokok dan bunga hingga 24 Februari 2022; dan PT Bank ICBC Indonesia menangguhkan pokok dan bunga hingga 31 Maret 2022.

Selanjutnya, PT Bank Permata Tbk untuk Revolving Loan 1 penangguhan pokok hingga 1 April 2022 dan Revolving Loan 2 penangguhan pokok dan bunga hingga 1 April 2022. Bank of China menangguhkan pokok dan bunga hingga 11 November 2021.

PT Pertamina (Persero) dan PT Angkasa Pura I (Persero) juga sepakat merestrukturisasi utang tunggakan 2020 dan dibayarkan dengan cicilan balloon payment hingga 2023.

Demikian halnya dengan PT Angkasa Pura II (Persero) dan LPPNPI merestrukturisasi utang tunggakan 2020 dan dibayarkan dengan cicilan balloon payment hingga 2023.

Pertamina, Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II sebenarnya sudah sepakat untuk menangguhkan pembayaran utang jatuh tempo pada Desember 2020 lalu.

Perjanjian restrukturisasi utang ketiga perusahaan tersebut senilai US$724,01 juta.
Pada 30 Juni 2021, saldo restrukturisasi utang dengan Pertamina sebesar Rp7,59 triliun dan US$59,9 juta, Angkasa Pura I sebesar Rp85,78 miliar, dan Angkasa Pura II masing masing sebesar Rp475,07 miliar dan US$10.413.

Sementara itu, saldo restrukturisasi utang dengan Perum LPPNPI sebesar Rp154,33 miliar hingga Juni 2021.

Berdasarkan laporan keuangan unaudited perseroan pada Juni 2021, utang jangka pendek Garuda Indonesia ke BNI tercatat sebesar Rp2,4 triliun dan US$440 juta yang jatuh tempo pada 21 Juni 2021.

Sementara, utang jangka pendek BRI sebesar Rp2 triliun yang jatuh tempo pada 21 Desember 2021. Sampai 30 Juni utang tercatat sebesar Rp2 triliun menjadi US$500 miliar setelah 30 Juni 2021.

Kemudian utang jangak pendek ke Bank Panin tercatat sebesar US$125 juta sampai denga 24 Februari 2021 dan menjadi Rp1,75 triliun setelah 24 Februari 2021.

Selanjutnya, utang jangka pendek Bank Permata sebesar US$50 juta dengan jatuh tempo pada 1 April 2022. Sedangkan utang jatuh tempo ICBC sebesarUS$24 juta sampai 16 Juni dan menjadi US$16,2 juta setelahnya. Jatuh temponya pada 31 Maret 2022.

Di sisi lain, utang jangka pendek Garuda Indonesia ke Bank of China mencapai US$20 juta sampai 30 Maret 2021 dan menjadi US$30 juta setelah tanggal tersebut. Jatuh tempo terjadi pada 11 Agustus 2021.

Selain itu, utang anak usahanya, PT GMF AeorAsiaTbk (GMFAA) tercatat sebesar US$30 juta dengan jatuh tempo pada 27 Oktober 2021.

Kemudian utang PT Aerofood ACS sebesar Rp100 miliar yang akan jatuh tempo pada 19 November 2021 serta utang ATS sebesar Rp30 miliar yang jatuh tempo pada 31 Agustus 2021.

Garuda Indonesia juga terlilit utang jangka panjang sebesar US$281,23 juta kepada pihak berelasi dan kepada pihak ketiga seperti PT Bank Maybank Indonesia Tbk, PT Bank KEB Hana Indonesia, Japan Finance Corporation dan Bank BCA senilai US$329,03 juta. Sehingga total utang jangka panjang mencapai US$254,93 juta.

Harapan PMN Pupus

Pesawat Airbus A330neo milik maskapai penerbangan BUMN PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. / Airbus.com

Untuk menalangi ekuitas perusahaan, pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrrastruktur (SMI) tahun lalu menyalurkan investasi Rp8,5 triliun kepada GIAA melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN).

Investasi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK/06/2020 tentang Investasi Pemerintah.

Pada Februari 2021, Garuda Indonesia telah menerima pencairan PMN tahap pertama senilai Rp1 triliun. Sisanya akan menyusul.

Namun rencana menyalurkan PMN namun ditolak keras oleh DPR karena manajemen Garuda Indonesia diduga telah melakukan korupsi. Hal itu sejalan dengan memburuknya kinerja GIAA belakangan ini sehingga tidak memenuhi key performance indicator (KPI).

Per semester I-2021, maskapai milik pemerintah masih merugi US$898,65 juta atau setara Rp12,8 triliun. Kerugian meningkat sekitar 26% dari US$712,72 juta atau Rp10,15 triliun pada semester I-2020.

Sementara itu, total ekuitas perusahaan tercatat negatif US$2,84 miliar, membengkak dari posisi sebelumnya minus US$1,94 miliar.

Aset Garuda juga menyusut menjadi US$ 10,11 miliar dari semula US$ 10,78 miliar. Di sisi lain, liabilitas perusahaan meningkat menjadi US$12,96 miliar per Juni 2021 dari posisi periode 2020 sebesar US$12,73 miliar.

Pemerintah terus memonitor perkembangan Garuda atas upaya-upaya perbaikan yang dilakukan. Hal bertujuan agar PMN atau investasi pemerintah ini menjadi solusi untuk pemulihan Garuda Indonesia.

Namun harapan mendapat suntikan PMN gagal total setelah DPR menolak keras proposal tersebut, dan Erick Thohir telah menegaskan bahwa pada tahun 2022, suntikan PMN hanya untuk BUMN yang melakukan penugasan menyelesaikan proyek pemerintah mulai dari jalan tol, listrik, perumahan, dan proyek lainnya.

Presiden Joko Widodo baru baru ini bahkan dengan tegas menolak rasionalisasi PMN untuk perusahaan BUMN yang 'sakit'.

Jokowi sudah tidak mau lagi perusahaan-perusahaan BUMN terus bergantung pada negara ketika mengalami permasalahan.

"Kalau yang lalu-lalu BUMN-BUMN kan banyak terlalu keseringan kita proteksi. Sakit tambahi PMN (Penyertaan Modal Negara). Sakit, suntik PMN. Maaf, terlalu enak sekali," kata Jokowi di Labuan Bajo, pekan lalu.

Dia menegaskan bahwa PMN diberikan seolah ingin memanjakan para BUMN 'sakit' sehingga tidak mau melakukan inovasi dan persaingan untuk meningkatkan performa.

Dia sekali lagi menandaskan, BUMN tak boleh lagi mendapat proteksi dana dari negara jika kondisi keuangannya bermasalah.

"Sudah lupakan pak Menteri (Erick Thohir). Lupakan proteksi-proteksi itu," katanya.

Penegasan yang disampaikan Jokowi secara implisit juga menyindir konsorsium BUMN yang melakukan penugasan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Karena keuangan bermasalah, konsorsium meminta bantuan negara melalui suntikan PMN Rp4,3 triliun.

Padahal, di awal proyek dimulai, Jokowi telah menegaskan bahwa proyek itu tidak menggunakan APBN karena dikerjakan dalam skemaBusinessto Business (B2B).

Jokowi mengatakan pembatasan PMN untuk menepis kritikan publik yang mengemuka setelah dia merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan PP Nomor 107 Tahun 2015 tentang Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung baru-baru ini.

Opsi jika Garuda Pailit

Maskapai penerbangan pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. dan anak perusahaannya, Citilink, mulai Minggu (1/3), mulai memberikan diskon 50% tiket pesawat ke 10 destinasi wisata. / Dok. Anne Avantie

Kartika Wirjoatmodjo atau Tiko mengatakan opsi penutupan Garuda tetap terbuka meski berstatus sebagai maskapai flag carrier. Musababnya, saat ini sudah lazim sebuah negara tidak memiliki maskapai yang melayani penerbangan internasional.

Untuk melayani penerbangan internasional, maskapai asing akan digandeng sebagai partner maskapai domestik. Sebuah maskapai telah tertarik untuk menjadi partner maskapai internasional dengan kompensasi penerbangan umrah dan haji.

Dia menyebut, jika opsi penutupan Garuda dilakukan, Kementerian BUMN akan melakukan transformasi maskapai Pelita Air dari air charter sebagai maskapai full service domestik yang sahamnya dimiliki Pertamina.

Dalam perjalanan, ketika proses restrukturisasi utang Garuda ternyata berhasil, Pelita Air tetap bakal dioperasikan sebagai maskapai full service domestik.

"Memang ada risiko apabila dalam restrukturisasi ada kreditur tidak menyetujui atau akhirnya banyak tuntutan-tuntutan legal terhadap Garuda, bisa terjadi tidak mencapai kuorum dan akhirnya bisa terjadi akan menuju kebangkrutan. Ini yang kami hindari sebisa mungkin dalam proses legalnya, karena harapannya akan ada kesepakatan dari seluruh kreditur untuk menyepakati restrukturisasi," katanya.

Tiko mengakui restrukturisasi utang Garuda Indonesia bukan perkara mudah lantaran membutuhkan negosiasi dan proses hukum kompleks. Pasalnya, mayoritas utang Garuda Indonesia adalah kepada pemberi sewa (lessor) pesawat luar negeri dan pemegang surat utang syariah atau sukuk internasional.

Selain itu, jenis pesawatnya juga terlalu banyak seperti Boeing 737, Boeing 777, Airbus A320, A330, ATR, dan Bombardier dan juga rute yang banyak tetapi tidak profitable.

Dia mengungkapkan, Kementerian BUMN sudah menunjuk konsultan hukum dan keuangan untuk memulai proses restrukturisasi Garuda yang diharapkan bisa ditekan hingga US$1-US$1,5 miliar dari utang Garuda US$4,5 miliar saat ini.

Selain itu memang segera dilakukan moratorium utang atau standstill agreement (menghentikan sementara pembayaran bunga) dalam waktu dekat ini.

Kementerian BUMN sebagai pemegang saham mayoritas tengah dalam proses menyusun skema restrukturisasi dan menunjuk konsultan hukum guna mengawal proses legal untuk menghindari pailit.

Kementerian BUMN juga telah berkoordinasi dengan manajemen Garuda Indonesia, pemegang saham minoritas, hingga Kementerian Keuangan.

"Ini melibatkan lessor dan peminjam dalam bentuk global sukuk bond yang dimiliki oleh pemegang sukuk dari Middle East," katanya.

Dia menerangkan, proses restrukturisasi Garuda akan dibarengi dengan moratorium pembayaran utang karena kas perseroan semakin menipis. Program moratorium bisa dilaksanakan dalam waktu dekat.

Dia berharap restrukturisasi perseroan bisa menurunkan biaya operasional hingga 50%. Sementara itu, program restrukturisasi sendiri ditargetkan selesai dalam kurun waktu 270 hari setelah moratorium pembayaran utang.

"Diharapkan dalam waktu 270 hari setelah moratorium, kami bisa menyelesaikan restrukturisasi ini," pungkasnya.

Grounding Pesawat

Akibat ketidakmampuan memenuhi kewajibannya kepada lessor, Garuda Indonesia dikenakan pelarangan penggunaan (grounding) pesawat sewa tertentu.

Seperti yang terjadi baru-baru ini, Garuda mengembalikan 9 unit pesawat tipe Boeing 737-800 NG kepada pihak lessornya, Aercap Ireland Limited (Aercap).

Sebanyak 9 unit pesawat Garuda Indonesia tersebut dikirim ke Alice Spring, Australia.
Aercap adalah salah satu lessor yang mencabut gugatan pailit ke maskapai nasional milik BUMN belum lama ini.

Kesembilan pesawat itu seluruhnya jenis Boeing 737-800 NG, masing-masing dengan nomor registrasi PK-GNV, PK-GNU, PK-GNS, PK-GNP, PK-GNO, PK-GNK, PK-GNJ, PK-GNH, dan PK-GND.

Garuda Indonesia menyadari bahwa perjanjian-perjanjian pinjaman dengan lessor dan lembaga pembiayaan memiliki batasan rasio keuangan yang tidak dapat dipenuhi.

Bila perusahaan tidak dapat memenuhi persyaratan ini, pinjaman-pinjaman ini dapat jatuh tempo segera jika diminta oleh pemberi pinjaman. Perjanjian pinjaman ini umumnya juga memiliki persyaratan cross-default.

"Kondisi-kondisi di atas menunjukkan adanya ketidakpastian material yang dapat menimbulkan keraguan signifikan tentang kemampuan Grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya," bunyi pernyataan manajemen GIAA dalam keterbukaan informasi dikutip Selasa, 19 Oktober 2021.

Perseroan terus mempertimbangkan dengan cermat likuiditas masa depan dan kinerja perusahan dan sumber pembiayaan yang tersedia dalam menilai apakah akan memiliki sumber daya keuangan yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.*