turbulensi garuda by deva Ta
Korporasi

Garuda Indonesia Tekor Rp34,83 Triliun Sepanjang 2020, Ekuitas Kian Memburuk

  • PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) membukukan rugi bersih hingga US$2,4 miliar atau setara Rp34,83 triliun (asumsi kurs Rp14.514 per dolar Amerika Serikat) pada 2020.

Korporasi

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA – Emiten pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) mencatatkan kinerja keuangan yang babak belur sepanjang tahun lalu. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini membukukan rugi bersih hingga US$2,4 miliar atau setara Rp34,83 triliun (asumsi kurs Rp14.514 per dolar Amerika Serikat) pada 2020.

Berdasarkan laporan keuangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), kerugian yang dialami GIAA tidak lepas dari pendapatan perseroan yang anjlok 206% year on year (yoy). Total pendapatan Garuda Indonesia menukik dari US$4,5 miliar atau Rp65,31 triliun pada 2019 menjadi Rp21,66 triliun pada 2020.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra merinci pendapatan GIAA dari penerbangan berjadwal sepanjang 2020 mencapai US$1,2 miliar. Realisasi itu jauh menurun dibandingkan dengan capaian 2019 sebesar US$3,77 miliar.

Lalu, pendapatan dari segmen penerbangan tidak berjadwal pada 2020 mencapai US$77 juta dan pendapatan lainnya sebesar US$214 juta.

Garuda Indonesia mengalami masalah akut pada pos liabilitas. Total liabilitas GIAA pada tahun lalu menembus US$12,73 miliar atau lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya US$3,87 miliar.

Lebih rinci,  pos itu terdiri dari liabilitas jangka pendek US$4,29 miliar dan liabilitas jangka panjang US$8,44 miliar. Jumlah liabilitas jangka pendek yang lebih tinggi dibandingkan kerugian membuat GIAA mengalami defisiensi ekuitas sebesar US$1,9 miliar pada 2020.

Kondisi ini diperparah dengan kenaikan sejumlah pos beban yang dialami Garuda Indonesia sepanjang 2020. Beban keuangan perseroan membengkak hampir tiga kali lipat, tepatnya 295%, dari US$139,99 juta pada 2019 menjadi US$533,66 juta pada 2020.

GIAA juga mencatatkan beban lainnya sebesar US$366 juta pada tahun lalu. Padahal, pos ini tercatat tidak muncul pada 2019.

Lalu, keputusan GIAA untuk mencatatkan transaksi dalam bentuk valuta asing (valas) berimplikasi negatif terhadap kinerja keuangan. Emiten pelat merah itu mengalami kerugian selisih kurs mata uang asing sebesar US$35,24 juta atau lebih tinggi dibandingkan 2019 yang hanya US$32,60 juta.

Di sisi lain, lesunya bisnis penerbangan membuat beban pokok pendapatan GIAA ikut turun dari US$3,86 miliar pada 2019 menjadi US$2,82 miliar pada 2020. Beban penjualan perseroan pada 2020 pun susut dari 165% menjadi US$129,23 juta dari sebelumnya US$342 juta pada 2019.

Kerugian ini bukan kali pertamanya dialami Garuda Indonesia. Pasalnya, GIAA juga membukukan rugi bersih US$38,93 juta atau Rp565,16 miliar pada 2019.