turbulensi garuda by deva Ta
Korporasi

Garuda Indonesia Nyaris Bangkrut? Saham GIAA Berpotensi Ditendang dari Bursa

  • Setelah diberhentikan sementara (suspensi) pada 18 Juni 2021, saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) berpotensi ditendang dari Bursa Efek Indonesia (BEI) alias delisting setelah kinerja maskapai penerbangan pelat merah tahun ini belum menunjukkan perbaikan signifikan.
Korporasi
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA - Setelah diberhentikan sementara (suspensi) pada 18 Juni 2021, saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) berpotensi ditendang dari Bursa Efek Indonesia (BEI) alias delisting setelah kinerja maskapai penerbangan pelat merah tahun ini belum menunjukkan perbaikan signifikan.

"Bursa dapat menghapus saham perusahaan tercatat apabila mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status perusahaan tercatat sebagai perusahaan terbuka, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai," bunyi pengumuman BEI di keterbukaan informasi, Senin, 20 Desember 2021.

Dalam pernyataannya, BEI mengatakan saham Garuda Indonesia telah disuspensi selama enam bulan dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada 18 Juni 2023. Akibatnya, saham Garuda Indonesia hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir.

Adapun, suspensi saham GIAA terjadi karena penundaan pembayaran kupon global sukuk dari periode masa tenggang selama 14 hari yang jatuh tempo pada 3 Juni dan berakhir pada tanggal 17 Juni 2021 lalu.

Penundaan pembayaran kupon global sukuk tersebut memperhatikan kondisi perseroan yang terdampak akibat pandemi COVID-19.

Saat ini, komposisi saham Garuda Indonesia masing-masing dimiliki oleh pemerintah (60,54%), PT Trans Airways (28,27%) dan masyarakat di bawah 5% (11,19%).

Sebagai gambaran, Garuda Indonesia belum maksimal melakukan pemulihan kinerja. Kondisi terkini, posisi utangnya (parent only) mencapai US$9,8 miliar setara Rp140,5 triliun (asumsi kurs Rp14.337 per dolar Amerika Serikat) kepada lebih dari 800 kreditur.

Utang yang terus membengkak dan biaya operasional yang belum maksimal ditekan, membuat ekuitas perusahaan tercatat negatif menjadi US$3 miliar setara Rp43 triliun.

Di sisi lain, GIAA membukukan rugi yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk mencapai US$1,66 miliar per September 2021, meningkat 54,7% year on year (yoy) dari rugi per September 2020 sebesar US$1,07 miliar.

Kerugian tersebut disebabkan oleh turunnya pendapatan usaha menjadi US$939,03 juta pada sembilan bulan pertama tahun ini, turun 17,5%  yoy dari tahu lalu US$1,14 miliar.