<p>Pesawat Garuda Airlines/Wi</p>
Industri

Garuda Indonesia Tutup 97 Rute dan Kandangkan 6 Jenis Pesawat Tahun Depan

  • Garuda Indonesia berencana hanya melayani rute-rute yang menguntungkan secara finansial.

Industri

Daniel Deha

JAKARTA - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) akan menutup rute-rute yang tidak menguntungkan secara finansial pada 2022. Dari 237 rute yang dilayani sejak 2019, maskapai penerbangan nasional ini hanya akan melayani 140 rute pada 2022.

Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) II I Kartika Wirjoatmodjo mengatakan penutupan sejumlah rute penerbangan dilakukan untuk melakukan transformasi bisnis di tengah jerat negative equity yang kini sedang melindas perseroan.

"Garuda Indonesia akan fokus pada rute-rute super premium, dari 237 rute pada 2019 akan menjadi 140 rute pada 2022. Kita akan fokus pada rute-rute yang benar-benar memberikan positive margin," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Selasa, 9 November 2021.

Tahun depan Garuda Indonesia menutup rute yang dinilai rugi seperti Korea Selatan, London, dan Amsterdam. Penerbangan internasional hanya akan fokus melayani angkutan kargo.

"Secara internasional kita kurangi secara signifikan dan untuk internasional kita hanya ada beberapa rute yang dilayani, itu karena ada kenaikan volume kargo," papar Tiko.

Sementara, untuk rute domestik, maskapai akan lebih selektif untuk menentukan layanan penerbangan. Rute yang dianggap sepi penumpang seperti Jakarta-Yogyakarta juga akan diutup.

Operasikan 7 Jenis Pesawat

Kartika juga menegaskan, untuk konsolidasi keuangan perseroan, manajemen telah memutuskan hanya mengoperasikan 7 jenis pesawat tahun depan. Dari 13 jenis, Garuda akan mengandangkan (grounded) 6 jenis pesawat.

"Dari 13 jenis akan dikurangi menjadi 7 karena ada kesalahan di masa lalu karena pesawatnya macam-macam," imbuhnya.

Kartika menerangkan pesawat Garuda Indonesia sejauh ini memiliki 13 jenis. Setiap jenis memiliki lessor atau pemberi sewa yang berbeda-beda. Mulai dari Boeing, Bombardir, dan lain-lain. Total lessor sebanyak 32 lessor.

Dari 13 jenis pesawat tersebut, Garuda Indonesia mencatat ada 152 armada yang beroperasi. Namun ketika pandemi COVID-19 merebak dan kebijakan pembatasan dimulai, kini tinggal 50-an pesawat yang beroperasi melayani penumpang.

"Dari 152 tinggal 50-60 pesawat yang beroperasi karena banyak pesawat yang di-grounded," terang Tiko, begitu sapaannya.

Tiko menegaskan bahwa keberhasilan restrukturisasi utang Garuda Indonesia saat ini sangat bergantung kepada para lessor.

Pasalnya, sampai saat ini utang jangka panjang perseroan sepenuhnya sudah tidak dibayar sambil berharap proses negosiasi dengan lessor asing berjalan baik.

"Ini menjadi kunci suksesnya Garuda adalah persetujuan dari kreditur, ini yang penting karena tanpa persetujuan tidak mungkin pemegang saham bisa bergerak," katanya.

"Nasib Garuda ini bukan berada di tangan pemegang sahamnya tapi di tangan krediturnya," sambungnya.

Secara Teknis Bangkrut

Dalam paparannya saat Rapat Kerja Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kartika mengatakan kondisi Garuda Indonesia sebetulnya secara teknikal sudah bangkrut alias technically bankrupt dalam bisnis perbankan.

Hal ini lantaran ekuitas perseroan sudah negatif hingga US$2,8 miliar atau setara dengan Rp40 triliun (kurs Rp14.200/US$) dengan utang jatuh tempo Rp70 triliun.

"Sebenarnya dalam kondisi seperti ini kalau istilah perbankan sudah technically bankrupt tapi legally belum. Ini yang sekarang sedang berusaha bagaimana kita bisa keluar dari situasi yang sebenarnya secara technically bankrupt," paparnya.

Mantan Dirut Bank Mandiri ini menjabarkan aset saat ini mencapai US$6,93 miliar atau sekitar Rp99 triliun, sementara liabilitas (kewajiban, termasuk utang) mencapai US$9,76 miliar atau setara Rp140 triliun.

Dari jumlah kewajiban tersebut, utang dari sewa pesawat mendominasi mencapai US$9 miliar atau setara Rp128 triliun.

Saat ini, perusahaan berkomitmen terus melakukan pembicaraan dengan para lessor untuk melakukan restrukturisasi, dengan menurunkan kewajiban dari US$9,75 miliar setara Rp138,45 triliun menjadi US$2,6 miliar setara Rp36,92 triliun (asumsi kurs Rp14.200/dolar Amerika Serikat).

Pembicaraan itu dilakukan dengan lessor asing dan juga bank-bank termasuk Bank Himbara termasuk dengan PT Pertamina (Persero) yang memiliki utang Rp12 triliun.*