Keputusan Hamas membombardir Israel, dikatakan Haniyeh akibat cairnya hubungan diplomasi negara-negara Arab lainnya kepada Israel. Hal itu dinilai mengesampingkan perjuangan Palestina dalam memperoleh kedaulatan dunia.
Dunia

Gaza Memanas, Ini Profil Ismail Haniyeh Pemimpin Militan Hamas

  • Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh berjanji bakal memperluas serangan ke Israel yang dimulai dari jalur Gaza hingga ke Tepi Barat dan Yerusalem.

Dunia

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTAJalur Gaza kembali memanas setelah militan Hamas Palestina, di bawah kepemimpinan Ismail Haniyeh menembakkan lebih dari 5.000 roket ke wilayah Isreal dalam waktu 20 menit pada Sabtu, 07 Oktober 2023.

Serangan kilat Hamas itu mengakibatkan 300 warga negara Israel tewas. Melihat wilayahnya dibombardir roket, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu langsung membunyikan sirine perang melawan pasukan Ismail Haniyeh.

“(Hamas) akan membayar harga yang belum mereka ketahui sebelumnya. Kita sedang berperang, bukan sebuah operasi, bukan sebuah putaran, tetapi perang,” kata Netanyahu dikutip dari Al Jazeera Senin, 09 Oktober 2023.

Netanyahu juga mengingatkan kepada warga Palestina yang bermukim di jalur Gaza untuk segera mengungsi karena pasukan Israel bersiap membalas serangan Hamas. Benar saja, kurang dari 24 jam, pasukan Israel langsung mengirimkan rudal balasan yang mengakibatkan 232 warga Palestina tewas dan 1.697 luka-luka.

Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh yang mestinya telah tahu konsekuensi eskalasi dengan Israel akan memakan banyak korban jiwa, ia malah berjanji bakal memperluas serangan hingga ke Tepi Barat dan Yerusalem, lantaran warga jalur Gaza telah lebih 16 tahun hidup di bawah blokade Israel.

“Berapa kali kami memperingatkan Anda bahwa rakyat Palestina telah tinggal di kamp pengungsi selama 75 tahun, dan Anda menolak mengakui hak-hak rakyat kami?” ujar Haniyeh dikutip dari Reuters.

Keputusan Hamas membombardir Israel, dikatakan Haniyeh akibat cairnya hubungan diplomasi negara-negara Arab lainnya kepada Israel. Hal itu dinilai mengesampingkan perjuangan Palestina dalam memperoleh kedaulatan dunia. Ia juga menyoroti ancaman Masjidil Al Aqsa Yerusalem dan blokade bertubi-tubi Israel di jalur Gaza.

“Kami mengatakan kepada semua negara, termasuk saudara-saudara Arab kami, bahwa entitas ini, yang tidak dapat melindungi dirinya sendiri ketika menghadapi perlawanan, tidak dapat memberikan perlindungan apapun kepada Anda,” tambahnya.

Asal tahu saja, sejak 2007 pemerintahan Palestina berjalan secara paralel lantaran ada dua faksi utama. Pertama Fatah yang dipimpin Mahmoud Abbas sekaligus Presiden Palestina dengan teritori wilayah Tepi Barat. Kedua Hamas yang dipimpin oleh Haniyeh itu bermarkas di jalur Gaza.

Kedua faksi utama Palestina ini tak jarang saling berselisih soal cara berpolitik menghadapi Israel. Jika Fatah lebih memilih jalur diplomasi, sebaliknya Hamas yakin dengan jalur konfrotatif.

Meski begitu, untuk serangan Hamas pada pekan ini, Abbas mendukung penuh hak rakyatnya untuk membela diri dari serangan Israel. Padahal lebih dari 2.3 juta penduduk bermukim di jalur Gaza. Pernyataan ini ia kemukakan usai rapat darurat dengan pemerintahan Palestina.

Profil Haniyeh

Ismail Haniyeh lahir pada 1963 dari keluarga Arab Palestina yang mengungsi dari desa mereka dekat Ashqelon (kini bagian dari Israel) pada tahun 1948, Haniyeh mengalami masa kecilnya di kamp pengungsi Al-Shāṭiʾ di Jalur Gaza. 

Sebagai anak pengungsi, ia menerima pendidikan di sekolah-sekolah yang dikelola oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), tempat ia juga menerima bantuan makanan dan obat-obatan.

Pada 1981, Haniyeh mendaftar di Universitas Islam Gaza, fokus pada studi sastra Arab. Pendidikannya dan keaktifannya dalam politik mahasiswa membentuk landasan awal bagi keterlibatannya dalam gerakan Islam, terutama Ikhwanul Muslimin.

Pada 1988, ketika kelompok Islam Hamas dibentuk, Haniyeh menjadi salah satu anggota pendiri dan segera mendapat perhatian karena hubungannya yang dekat dengan pemimpin awal Hamas, Syekh Ahmed Yassin.

Aktivitas politik Haniyeh menghadapi tantangan ketika ia ditangkap oleh otoritas Israel pada tahun 1988 dan kemudian pada tahun 1989. Pada tahun 1992, Israel mendeportasinya ke Lebanon selatan bersama dengan sekitar 400 anggota kelompok Islam lainnya. Namun, ia kembali ke Gaza pada tahun 1993 setelah penandatanganan Perjanjian Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Setelah kembali, Haniyeh tidak hanya aktif dalam politik, tetapi juga berkembang menjadi sosok penting dalam struktur kepemimpinan Hamas. Pada 1997, ia menjadi sekretaris pribadi Syekh Ahmed Yassin dan mempertahankan kepercayaan tersebut hingga akhir hayat Yassin. 

Keduanya selalu menjadi target upaya pembunuhan Israel, salah satunya pada 2003,  akan tetapi Syekh Yassin akhirnya tewas beberapa bulan kemudian dalam serangan udara Israel pada 2004.

Puncak kariernya terjadi pada 2006 ketika Hamas berpartisipasi dalam pemilihan legislatif Palestina. Haniyeh memimpin daftar Hamas, dan kelompok ini memenangkan mayoritas kursi di parlemen.

Sebagai hasilnya, Haniyeh menjadi Perdana Menteri Otoritas Palestina. Pemerintahannya, bagaimanapun, menghadapi tekanan internasional dan blokade ekonomi karena sikap keras Israel dan banyak negara Barat terhadap kepemimpinan Hamas.

Pada 2007, setelah ketegangan berkepanjangan dan bentrokan bersenjata antara Hamas dan Fatah, Presiden Palestina Mahmoud Abbas membubarkan pemerintahan Haniyeh dan mengumumkan darurat di Tepi Barat.

Haniyeh lalu membentuk pemerintahan Hamas di Jalur Gaza, di mana ia memimpin hingga hari ini. Meskipun terus menghadapi tekanan ekonomi dan kebijakan blokade dari Israel, Haniyeh mempertahankan kendali politik di Gaza.

Pada 2014, Haniyeh mengambil langkah signifikan dengan mengundurkan diri sebagai perdana menteri Hamas sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi antara Hamas di Gaza dan PLO di Tepi Barat.

Meskipun tidak lagi menjabat sebagai perdana menteri, Haniyeh tetap menjadi pemimpin utama Hamas di Jalur Gaza. Pada 2017, Yahya Sinwar menggantikan Haniyeh sebagai pemimpin di Gaza, sementara Haniyeh pindah ke peran kepala biro politik Hamas, menggantikan Khaled Meshaal.

Sejarah Hamas

Hamas (Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah) atau Gerakan Perlawanan Islam, adalah sebuah organisasi politik dan militan yang muncul di tengah-tengah konflik Israel-Palestina. Hamas berideologi Islam Ikhwanul Muslimin, sebuah gerakan serupa yang didirikan di Mesir pada 1920-an.

Sementara itu, Hamas didirikan pada akhir 1987 atau selama periode yang dikenal sebagai Intifada Pertama, yang merupakan pemberontakan rakyat Palestina melawan pendudukan Israel. Di sisi lain, faksi-faksi Islam mulai berperan secara signifikan, dan Hamas muncul sebagai salah satu entitas utama.

Pemimpin awal Hamas adalah Sheikh Ahmed Yassin, seorang ulama dan aktivis Palestina yang memainkan peran kunci dalam mendirikan organisasi ini. Fokus awal Hamas adalah pada pendidikan, kesejahteraan sosial, dan pemberdayaan komunitas Muslim.

Mulanya Hamas imendirikan sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga amal, memberikan bantuan kepada keluarga yang terkena dampak konflik, dan memberikan pelayanan sosial lainnya. Sehingga memperoleh dukungan dari sebagian besar rakyat Palestina, terutama di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Penting untuk dicatat Hamas juga mengemban peran sosial dan politik, itu juga memiliki sayap militer yang bertanggung jawab atas berbagai serangan terhadap Israel. Oleh sebab itu sejumlah negara Barat dan Israel menganggap Hamas dianggap sebagai organisasi teroris.

Pada 1993, dalam konteks Perjanjian Oslo antara PLO dan Israel, Hamas mengecam perjanjian tersebut dan tetap melanjutkan serangan terhadap Israel. Selama periode ini, terjadi serangkaian serangan bom bunuh diri di wilayah Israel oleh anggota Hamas.

Pada 2006, Hamas memenangkan mayoritas kursi dalam pemilihan legislatif Palestina. Kemenangan ini mengejutkan banyak pihak, dan dampaknya menciptakan ketegangan besar di antara faksi-faksi Palestina, terutama dengan Fatah yang memimpin PLO. Sebagai hasilnya, Gaza menjadi pusat konflik antara Hamas dan Fatah.

Ketegangan antara kedua faksi mencapai puncaknya pada tahun 2007 ketika Hamas merebut kendali atas jalur Gaza setelah pertempuran bersenjata yang berkepanjangan. Presiden Palestina Mahmoud Abbas membubarkan pemerintahan bersama dan membentuk pemerintahan baru di Tepi Barat yang diakui oleh banyak negara. Sejak saat itu, Gaza dikepung oleh Israel dan Mesir untuk mencegah penyelundupan senjata ke wilayah tersebut.

Blokade ini telah memberikan dampak serius terhadap kehidupan sehari-hari penduduk Gaza, menciptakan kondisi kemanusiaan yang sulit. Hamas terus mempertahankan kendali di Gaza, sementara Fatah memerintah di Tepi Barat. Upaya rekonsiliasi antara kedua faksi selalu dilakukan, tetapi dengan hasil yang terbatas.

Dalam beberapa dekade terakhir, konflik antara Israel dan Hamas melibatkan serangkaian operasi militer, termasuk Operasi Gegana Musim Panas pada 2014, yang menyebabkan korban jiwa dan kerusakan besar di Gaza. Setiap kali terjadi eskalasi kekerasan, upaya mediasi internasional dilakukan untuk mencapai gencatan senjata dan menyelesaikan konflik. Namun, hingga saat ini, solusi berkelanjutan untuk konflik ini tetap menjadi tantangan yang belum terpecahkan dan terbaru dimulai akhir pekan ini eskalasi konflik Hamas dan Israel semakin memuncak.