Gegara Tambah Usia Pensiun, Presiden Prancis Diprotes Massa
- Lebih dari 1 juta orang berunjuk rasa di Prancis pada Kamis, 19 Januari 2023 waktu setempat. Unjuk rasa tersebut dilakukan sebagai upaya pengecaman untuk mengecam rencana Presiden Emmanuel Macron lantaran menaikkan usia pensiun.
Dunia
PARIS - Lebih dari 1 juta orang berunjuk rasa di Prancis pada Kamis, 19 Januari 2023 waktu setempat. Unjuk rasa tersebut dilakukan sebagai upaya pengecaman untuk mengecam rencana Presiden Emmanuel Macron lantaran menaikkan usia pensiun.
Kecaman tersebut memicu adanya gelombang pemogokan nasional. Masyarakat pendemo juga menghentikan layanan kereta api, memblokir kilang, dan membatasi aktivitas pembangkit listrik.
Serikat pekerja terkemuka di negara itu menyerukan pemogokan hari kedua pada 31 Januari dalam upaya untuk memaksa Macron dan pemerintahnya membatalkan rencana reformasi pensiun.
Mengutip Reuters Jumat, 20 Januari 2023, reformasi pensiun Macron membuat sebagian besar orang bekerja lebih lama 2 dua tahun, yakni hingga usia 64.
- Prakiraan Cuaca Hari Ini dan Besok untuk Wilayah DKI Jakarta
- 5 Fakta Menarik Tol Getaci, Jalan Tol Terpanjang di Indonesia hingga Batal Digarap Konglomerat
- Makin Hemat Internet! Ini Cara Download Video Viral di Twitter Tanpa Install Aplikasi
"Sekarang, pemerintah mendapati dirinya membelakangi tembok. Semua orang tahu bahwa menaikkan usia pensiun hanya menguntungkan pengusaha dan orang kaya," sebagaimana dikutip TrenAsia.com, dari Reuters.
Sebagaimana diketahui, unjuk rasa besar-besaran ini adalah ujian besar bagi Macron yang sebelumnya mengatakan bahwa kebijakan pensiunnya kebagian sebuah langkah yang adil dan bertanggung jawab.
Kebijakan reformasi pensiun juga dinilai perlu untuk membantu menjaga keuangan pemerintah pada pijakan yang sehat. Sayangnya, dalam jajak pendapat, sebagian besar orang Prancis justru menentang tindakan tersebut.
Pada pagi hari, sekitar 1,1 juta pengunjuk rasa turun ke jalan dalam sejumlah protes di seluruh Prancis, kata Kementerian Dalam Negeri. Jumlah ini lebih yang terjadi pada gelombang pertama protes jalanan ketika Macron pertama kali mencoba meloloskan reformasi pada 2019.
- Waduh! ChatGPT Disalahgunakan Penjahat Cyber untuk Menulis Malware
- Ramai Sekuritas Disuspensi Karena Tak Penuhi Syarat Modal Inti, Begini Penyebab Penyusutan MKBD
- Perusahaan Terafilisasi Emtek, Vidio dan Moji Teken Perjanjian Lisensi Program
Lantaran banyaknya massa, polisi menembakkan gas air mata dalam bentrokan-bentrokan kecil-kecil dengan pemuda di pinggiran Paris. Beberapa lusin penangkapan dilakukan.
"Gaji dan pensiun yang harus dinaikkan, bukan usia pensiun," bunyi salah satu spanduk besar yang dibawa oleh para pekerja di wilayah Tours, Prancis barat.
Isabelle, seorang wanita berusia 58 tahun yang kini berprofesi sebagai pekerja sosial bahkan mengatakan bahwa ia harus menyiapkan alat bantu jalan jika diharuskan bekerja pada usia senja.
"Saya harus mempersiapkan kerangka berjalan saya jika reformasi berhasil," ujarnya.
Sebagai informasi, sebelumnya Pemerintah Prancis mengatakan reformasi pensiun sangat penting untuk memastikan sistem tidak bangkrut. Hal tersebut dilakukan dengan menunda usia pensiun 2 tahun.
- Rekomendasi 5 Film Netflix Terpopuler Bulan Januari di Indonesia
- Makin Hemat Kuota Internet! Ini Cara Download Lagu Format MP3 Tanpa Install Aplikasi Khusus
- Dikirim ke Ukraina, Tank Challenger 2 Inggris Mimiliki Reputasi Hampir Tidak Masuk Akal
Tak sampai di situ, pemerintah juga bakal memperpanjang periode pembayaran serta membawa tambahan US$ 19,1 miliar Rp287 triliun (asumsi kurs Rp15.200 per dolar AS) dalam kontribusi pensiun tahunan. Menurut perkiraan Kementerian Tenaga Kerja Setempat, perpanjangan periode tersebut memungkinkan sistem untuk mencapai titik impas pada tahun 2027.
Di sisi lain, serikat pekerja berpendapat ada cara lain untuk membiayai pensiun. Salah satu usaula nya adalah mengenakan pajak pada orang super kaya atau meningkatkan kontribusi pemberi kerja atau pensiunan kaya.
"Masalah ini dapat diselesaikan dengan cara yang berbeda, melalui perpajakan. Pekerja seharusnya tidak perlu membayar defisit sektor publik," kata Laurent Berger, pemimpin CFDT, serikat pekerja terbesar di Prancis.