Gejolak Politik Dikhawatirkan Tingkatkan Risiko Ekonomi
- Ketika stabilitas politik terganggu, investor seringkali bereaksi dengan menarik investasi mereka dari pasar dan memilih untuk menempatkan modal mereka pada aset yang dianggap lebih aman.
Makroekonomi
JAKARTA - Ketidakpastian politik secara otomatis akan memperburuk kondisi ekonomi dan investasi di suatu negara yang tengah bergejolak. Di Indonesia sendiri yang terbaru, DPR mendapat sorotan tajam atas upaya pengesahan RUU Pilkada menjadi undang-undang yang hanya diproses dalam waktu tujuh jam.
Proses yang tergesa-gesa dinilai hanya menguntungkan kelompok tertentu dan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan tersebut mengundang kritik tajam dari berbagai pihak karena dianggap membatasi kebebasan berdemokrasi bagi masyarakat luas.
Langkah DPR bahkan memicu demonstrasi meluas di berbagai kota, mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap proses legislatif yang dianggap tidak transparan dan tidak adil.
- Pesan Revolusi dari Bekas Kantor Jokowi
- Kantongi Perpanjangan Izin, Freeport Ekspor Konsentrat Tembaga 150 Ribu Ton per Bulan
- Utang Bulog di BNI Terus Membesar, Tembus Rp20,57 Triliun pada Semester I-2024
Berdampak ke Ekonomi
Dampak dari ketidakstabilan politik ini meluas hingga ke sektor ekonomi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah dilaporkan mengalami penurunan signifikan pada penutupan perdagangan 22 Agustus 2024.
IHSG ditutup turun 0,87% ke level 7.488,68, setelah sebelumnya dibuka pada level 7.554,59. Penurunan ini mencerminkan dampak dari ketegangan politik yang tengah melanda ibu kota.
"IHSG diprediksi bergerak melemah dalam range 7.480 sampai 7.575," papar Financial Expert Ajaib Sekuritas, Ratih Mustikoningsih di Jakarta, Jumat, 23 Agustus 2024.
Rupiah juga menunjukkan pelemahan, ditutup pada nilai Rp15.600 per dolar AS, melemah dari penutupan sebelumnya di Rp15.500. Pergerakan nilai tukar ini menunjukkan dampak negatif dari ketidakpastian politik terhadap mata uang lokal.
Pada hari Kamis 23 Agustus 2024, bursa saham mencatatkan 389 saham mengalami penurunan, sementara 194 saham mengalami kenaikan, dan 202 saham tetap stabil. Total transaksi saham mencapai Rp39,17 triliun dengan 18,2 miliar saham diperdagangkan.
Sektor-sektor yang mengalami penurunan paling tajam meliputi infrastruktur (-1,5%), teknologi (-1,4%), transportasi (-1,23%), dan keuangan (-1,19%). Penurunan ini menunjukkan bagaimana sektor-sektor tersebut merespons ketidakpastian politik dengan melemahnya kepercayaan investor.
Penurunan IHSG dan pelemahan rupiah menjadi indikator penting betapa eratnya hubungan antara situasi politik dan kepercayaan investor. Ketika stabilitas politik terganggu, investor seringkali bereaksi dengan menarik investasi mereka dari pasar dan memilih untuk menempatkan modal mereka pada aset yang dianggap lebih aman.
Selain itu, ketidakpastian hukum dan kebijakan yang sering berubah dapat menambah kekhawatiran kontrak bisnis dengan pihak asing atau swasta juga bisa diubah secara sepihak oleh pemerintah.
Sejarah penegakan hukum di Indonesia yang sering dipertanyakan memperburuk kondisi ini, bisa jadi akan membuat investor ragu untuk menanamkan modal mereka di negara yang dianggap tidak stabil secara hukum.
- Pesan Revolusi dari Bekas Kantor Jokowi
- Kantongi Perpanjangan Izin, Freeport Ekspor Konsentrat Tembaga 150 Ribu Ton per Bulan
- Utang Bulog di BNI Terus Membesar, Tembus Rp20,57 Triliun pada Semester I-2024
Nilai Utang Luar Negeri Indonesia
Di tengah situasi ini, Indonesia menghadapi tantangan berat dalam mengatasi utang yang terus membengkak. Utang luar negeri dapat memengaruhi ekonomi secara signifikan, baik positif maupun negatif.
Di satu sisi, utang luar negeri dapat menjadi sumber pembiayaan penting bagi pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor produktif yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
Namun, di sisi lain, utang luar negeri yang tinggi dapat menimbulkan risiko ekonomi jika tidak dikelola dengan baik. Ketergantungan pada utang luar negeri dapat menambah beban kewajiban pembayaran utang, yang berpotensi mengganggu stabilitas fiskal dan mengurangi fleksibilitas kebijakan ekonomi.
Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mengalami peningkatan pada triwulan II-2024, tumbuh 2,7% secara tahunan (yoy), melampaui pertumbuhan 0,2% pada triwulan I-2024. Pada periode ini, total posisi utang mencapai US$408,6 miliar atau sekitar Rp6.419 triliun (kurs Rp15.710).
Kenaikan ini didominasi oleh sektor publik dan swasta. ULN pemerintah tercatat sebesar US$191 miliar (sekitar Rp3.000 triliun), namun mengalami kontraksi 0,8% (yoy), melanjutkan tren penurunan yang terlihat sejak triwulan sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya kepemilikan investor nonresiden dalam Surat Berharga Negara (SBN) domestik.
Meskipun mengalami kontraksi, ULN pemerintah tetap digunakan untuk mendukung sektor produktif dan belanja prioritas, seperti kesehatan dan sosial (20,9%), administrasi pemerintah dan jaminan sosial (18,8%), pendidikan (16,8%), konstruksi (13,6%), serta keuangan dan asuransi (9,5%).
"Pemerintah berkomitmen tetap menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara pruden, terukur, oportunistik dan fleksibel untuk mendapatkan pembiayaan yang paling efisien dan optimal," ujar Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Erwin Haryono, Juli.