Aktivitas thrifting.
Nasional

Gelap Terang Industri Thrifting, Melihat Perputaran Bisnis dari Dua Sisi

  • Tren Thrifting atau membeli barang bekas menjadi salah satu hal yang tengah digandungi oleh remaja. Pasalnya, selain murah, pembeli jika beruntung bisa menemukan barang branded dalam barang loak yang dijajakan.
Nasional
Rizky C. Septania

Rizky C. Septania

Author

JAKARTA- Tren thrifting atau membeli barang bekas menjadi salah satu hal yang tengah digandungi oleh remaja. Pasalnya, selain murah, pembeli jika beruntung bisa menemukan barang branded dalam barang loak yang dijajakan.

Biasanya, barang loak yang kebanyakan berupa pakaian ini diimpor dari luar negeri seperti Amerika, China, Jepang dan Korea dalam jumlah besar. Itulah kenapa para pembeli menganggap barang thrift ini memiliki kualitas lebih bagus dibanding barang lokal.

Namun, belakangan ini, thrifting produk impor menimbulkan pro dan kontra sendiri baik di masyarakat maupun pemerintah. Pada Rabu lalu, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengatakan banjirnya produk thrifting luar negeri akan menggerus produk lokal.

Namun di sisi lain, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengatakan bahwa bisnis thrifting berimbas positif, terutama mengenai banyaknya pelaku industri kreatif lokal yang memanfaatkan produk thrift ini.

Kemilau Industri Thrifting

Thrifting sebetulnya bukanlah hal baru di Indonesia. Jauh sebelum menjadi tren, penjualan baju bekas impor telah ada di sejumlah pasar Indonesia di Jakarta, Solo dan Jogja.

Meski perilakunya sama, namun thrifting mengalami sedikit pergeseran. Jika di masa lalu konsumen thrifting kebanyakan adalah orang tua, saat ini anak mudalah yang banyak menggandrungi thrifting.

Mengutip laman Pemkot Surakarta, designer dari brand Rengganis dan Indische sekaligus Vice Executive Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC), Riri Rengganis mengatakan ada tiga faktor yang memicu masyarakat menggemari thrifting.

Faktor pertama adalah adanya kreativitas dalam styling pakaian saat mengenakan barang thrifting. Bagi pembeli baju thrifting, hal ini menjadi keseruan tersendiri dibanding membeli pakaian baru.

Faktor kedua adalah barang thrifting dibanderol dengan harga lebih murah dibanding barang baru. Selain itu, faktor ketiga adalah mengurangi limbah baju bekas sehingga bisa dikatakan industri ini ramah lingkungan.

Menggali lebih dalam mengenai faktor ketiga, budaya thrifting bisa disebut sebagai penyeimbang dari Industri fast fashion. Sebagaimana dikutip dari dari data BPS, terjadi peningkatan 4,45% per tahun dalam produksi industri fesyen manufaktur besar.

Dampaknya, hal ini menjadikan industri fesyen sebagai penyumbang 10% gas rumah kaca yang timbul dari rantai ari rantai pasokan yang panjang dan penggunaan energi dalam produksi yang intensif.

Di Indonesia sendiri, thrifting mendapat perhatian dari Menparekraf Sandiaga Uno. Menurutnya, aktivitas thrifting ini dapat menjaga sustainable living terhadap fashion. yang berarti tidak menghamburkan pakaian begitu saja.

Selain itu, Mantan Wagub Jakarta ini juga menyatakan kegiatan ini tidak sama sekali menganggu ekonomi UMKM Lokal. Justru hal ini menjadi peluang untuk membantu produk lokal dalam membangun ekonomi kreatif.

“Jadi ini ada peluang untuk para pelaku eonomi kreatif lokal, kita boleh jual barang bekas tapi tidak boleh impor barang bekas. Karena kita harus kembangkan kekuatan talenta mereka,” papar Sandi dalam ASEAN Tourism Forum 2023.

Dengan begitu, kata Sandi, barang bekas yang mempunyai nilai jual tinggi baik itu pakaian atau barang-barang antik menjadi tujuan wisata yang memiliki daya tarik untuk dikunjungi wisatawan.

Sisi Gelap Industri Thrifting

Selain memunculkan sisi terang, thrifting juga memiliki sisi lain yang merugikan. Meski minim kerusakan lingkungan, secara tak langsung thrifting memberi kerusakan cukup besar bagi lingkungan yang lain, terutama keberlangsungan hidup banyak orang.

Sebagai tren yang baru saja muncul, kegiatan thrifting ini bisa menyebabkan gentrifikasi atau perubahan sosial yang biasanya terjadi saat kalangan atas menggunakan sumber daya yang diperuntukkan pada kaum menengah bawah.

Mengingat thrifting merupakan barang bekas dan harganya cenderung lebih murah, maka bisa dibilang bahwa ini menjadi salah satu opsi belanja yang diperuntukkan untuk kaum menengah bawah.

Namun seiring dengan meningkatnya permintaan pasar, hal ini menyebabkan pelaku penjual pakaian bekas menggunakan kesempatan untuk menaikkan harga barang untuk mendapat keuntungan lebih.

Sebagai contoh, sejumlah barang thrifting yang dijual di pasaran ada yang mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Melonjaknya harga tersebut kemudian bisa berdampak buruk bagi kaum menengah bawah. Alhasil, mereka dihadapkan pada dua pilihan. Membeli pakaian baru yang mahal atau menggunakan pakaian murah namun tak layak.

Thrifting juga bisa memicu konsumsi berlebih. Mengingat perilaku kelas menengah Indonesia yang cenderung konsumtif, membeli barang thrifting secara berlebihan bertentangan dengan tujuan awal thrifting yakni menjaga keseimbangan lingkungan.

Meski jalan berbeda, membeli barang thrifting secara berlebih tetap berpengaruh dalam meningkatkan jumlah pakaian yang terbuang sia-sia.

Hal yang paling berdampak besar tentunya berkaitan dengan pertumbuhan pelaku industri lokal dan pendapatan negara. Sebagaimana diketahui sebelumnya, penggemar thrifting memburu pakaian bermerek bekas dengan harga terjangkau. Mereka lebih memilih baju bekas bermerek global dibanding pakaian yang diproduksi oleh UMKM lokal.

Jika trend thrifting terus terjadi, UMKM lokal berpotensi mengalami penurunan penjualan karena harus bersaing dengan produk thrifting. Persaingan tidak hanya pada ranah harga namun juga kualitas yang hanya dicapai dengan modal besar.

Mengingat sejumlah barang thrifting merupakan barang impor yang dikirim dengan cara ilegal, maka hal ini juga merugikan negara.

Mengutip wawancara detik.com tahun lalu, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyebut jika bisnis baju bekas impor atau thrift store ini sangat merugikan negara. Pasalnya, Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari pajak.

"Bagi kita (Indonesia) kerugiannya berupa pajak yang tidak dibayarkan," kata anggota BPKN Heru Sutadi.