Geliat Pelaku UMKM Kian Meningkat, BRI Bidik Porsi Loan at Risk Kembali Single Digit
- Dengan pertumbuhan yang terus meningkat pada pelaku UMKM, bank terbesar di Indonesia, BRI, memiliki target agar kredit yang direstrukturisasi perseroan kembali menjadi satu digit dari total portofolio kredit pada tahun 2025, sama seperti sebelum krisis akibat pandemi terjadi.
Nasional
JAKARTA - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau Bank BRI (BBRI) menargetkan kredit restrukturisasi perusahaan kembali ke masa sebelum pandemi. Pada 2023, jumlah restrukturisasi dipastikan harus single digit dari jumlah keseluruhan portofolio kredit.
Sebelumnya, jumlah restrukturisasi kredit BRI saat pandemi mencapai 30% dari portofolio kredit. Puncaknya pada September 2020, nilainya mencapai Rp250 triliun.
Direktur Manajemen Risiko BRI Agus Sudiarto mengatakan bahwa setelah berganti status menjadi endemi, kondisi ekonomi kembali pulih. Pun Halnya dengan angka restrukturisasi nasabah BRI.
Per Juni, Ia bilang, angka restrukturisasi tinggal Rp83,2 triliun atau 7,64% dari total kredit BRI. Agus menambahkan, secara bulanan, jumlah restrukturisasi turun antara Rp3triliun - Rp5 triliun.
"Mudah-mudahan sisanya ini bisa kami kelola hingga akhir tahun ini terus menurun. Kami harapkan porsi tersebut dapat terus turun hingga rasio Loan at Risk (LAR) BRI bisa kembali dari 15,1% di Juni ini ke single digit. Mungkin akan kami dapat di akhir tahun depan atau tahun 2025,” ujarnya sebagaimana dikutip TrenAsia.com dari siaran pers yang diterima Kamis, 20 Juli 2023.
- Isu Perpajakan Jadi Sorotan di Pertemuan Terakhir G20 India
- G20: Bank Multilateral Perlu Reformasi Besar untuk Tingkatkan Pinjaman
- Startup Motor Listrik MAKA Motors Raih Pendanaan Awal Rp563 Miliar
Meski sudah membaik, BRI mengatakan bahwa pihaknya pihaknya menerapkan strategi konservatif dengan mengalokasikan dana pencadangan yang lebih dari memadai sebagai salah satu mitigasi risiko.
NPL Turun
Saat pandemi, BRI mencatat NPL coverage berada di atas 200%. Pada 2020, NPL coverage BRI mencapai 247,98%. Angka ini kemudian naik jadi 278,14% pada 2021.
Pada 2022 persentasenya kembali ditingkatkan menjadi 291,54%. Sedangkan pada kuartal I/2023 sebesar 268,93%.
“Jadi 2020, 2021 sampai 2022 memang kami di BRI melakukan upaya mitigasi yang sangat konservatif. Di mana pencadangan-pencadangan yang kami lakukan cukup memadai sehingga dibandingkan posisi pre-pandemic kenaikannya cukup signifikan,” lanjutnya.
Hal itu pun mengatrol cost of credit, yang biasanya sebelum pandemi hanya sekitar 2% menjadi 3% selama masa pandemi. Sedangkan untuk tahun ini, perseroan memproyeksikan cost of credit mulai turun dan berada di kisaran 2,2-2,4%.
Menurut Agus, kendati kondisi industri perbankan nasional saat ini lebih baik dan cost of credit BRI mulai turun setelah didera pandemi, manajemen perseroan tetap melakukan pencadangan secara konservatif. BRI tidak ingin mengabaikan kondisi ekonomi di tataran global yang masih penuh ketidakpastian.
Seperti diketahui kondisi geopolitik di Eropa karena karena perang Ukraina-Rusia masih memanas. Era suku bunga tinggi diberlakukan banyak bank sentral termasuk di Amerika Serikat pun masih terjadi. Belum lagi inflasi di berbagai belahan dunia masih tinggi.
“Di negeri kita kondisinya masih lebih baik dari beberapa kawasan, baik dari sisi tingkat inflasi maupun pertumbuhan ekonomi kita juga masih relatif lebih tinggi dibanding kawasan lain. Hal ini tentunya berpengaruh pada kondisi di sektor perbankan. Meskipun kondisi perbankan lebih baik, kami tetap melakukan pencadangan secara konservatif. Jadi meskipun kondisi domestik membaik, kami tidak mengabaikan kondisi di luar,” papar Agus.