<p>Sejumlah mahasiswa melakukan demonstrasi di Tugu Adipura, Kota Tangerang, Banten, Rabu, 7 Oktober 2020. Aksi tersebut sebagai penolakan atas pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Nasional

Gen-Z, Medsos dan Transformasi Cara Berdemonstrasi

  • Kesadaran generasi muda terbukti menjadi kekuatan pendorong perubahan nyata dalam sejarah Indonesia. Gerakan pemuda dan pelajar sepanjang sejarah Indonesia telah memberikan visi yang jelas tentang perubahan progresif dan cara mencapainya.

Nasional

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Generasi Z (Gen Z) adalah kelompok yang lahir antara tahun 1996-2012. Saat ini, mayoritas dari mereka sudah memasuki masa remaja atau sedang duduk di bangku kuliah. Gen Z juga berasal dari istilah ‘Zoomer,."

Itu karena mereka tumbuh di era perkembangan teknologi yang sangat cepat, sehingga memungkinkan mereka untuk mengikuti perkembangan teknologi dan internet dengan dekat.

Sebagai generasi yang tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi, Gen Z terbiasa hidup dalam lingkungan yang serba cepat, di mana berbagai hal menjadi lebih mudah karena semuanya dapat diakses melalui smartphone.

Karena hidup di era yang serba cepat, Gen Z cenderung kurang sabar dan sering menginginkan hasil yang instan. Meskipun secara kognitif mereka cepat dalam belajar, mereka kurang sabar dalam menjalani prosesnya. Akibatnya, mereka terkadang mudah menyerah saat menghadapi kesulitan.

Setiap generasi memiliki karakteristik tersendiri. Berdasarkan survei Workforce pada tahun 2019 terhadap 3.400 Gen Z di 12 negara, 32% Gen Z menyatakan mereka pekerja keras. Gen Z kurang nyaman dengan model kerja shift yang berdekatan (back-to-back shift).

Sebanyak 35% Gen Z mengaku enggan bekerja jika tidak sedang berminat, dan 34% merasa kesal jika harus bekerja di waktu luang. Karakteristik ini membuat Generasi Z sering dianggap pemalas, padahal mereka mempunyai potensi besar dalam bekerja apalagi dalam hal teknologi.

Dengan potensi besar yang dimiliki, perusahaan perlu memahami kebutuhan mereka. Mereka sangat bergantung pada teknologi untuk berkomunikasi dan peka terhadap kecemasan. Oleh karena itu, Gen Z membutuhkan pemimpin yang mempercayai, mendukung kebutuhan, humanis, dan tidak hanya melihat mereka sebagai karyawan semata.

Gen Z lebih fokus pada fleksibilitas, work-life balance, dan pekerjaan yang sesuai dengan minat. Ini bukan tanda kemalasan, melainkan cara mereka untuk membangun karier yang memuaskan. 

Gen Z juga memasuki dunia kerja dengan tujuan dan keinginan untuk membuat perubahan. Mereka tidak hanya menunggu kesempatan datang, tetapi aktif menciptakan peluang tersebut sendiri.

Gen Z, Politik Masa Depan

Gen Z mereka memiliki power untuk menggerakan orang lain dengan menggunakan sosial media dengan tujuan agar suara anak muda dapat didengarkan. Generasi Z sering terlibat dalam berbagai isu sosial hingga lingkungan. Mereka memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan pendapat dan menyebarkan kesadaran tentang isu-isu tersebut.

Salah satu media sosial yang sering digunakan oleh Gen Z untuk mengangkat isu-isu sosial adalah X. Media sosial membawa pengaruh besar ketika sudah di tangan Gen Z, membuat suatu topik langsung viral.

Menurut asisten profesor antropologi di University of Amsterdam, Belanda Yatun Sastramidjaja, faktor pendorong gerakan kaum muda yang selalu ada dari masa ke masa adalah kesadaran dalam angkatan.

“Mereka adalah wujud dari gagasan bahwa era baru yang progresif, Indonesia yang lebih baik, dapat dicapai, dan mereka memiliki tanggung jawab untuk memimpin dalam perjuangan yang sedang berlangsung untuk masa depan yang lebih baik,” katanya.

Kesadaran generasi muda terbukti menjadi kekuatan pendorong perubahan nyata dalam sejarah Indonesia. Gerakan pemuda dan pelajar sepanjang sejarah Indonesia telah memberikan visi yang jelas tentang perubahan progresif dan cara mencapainya.

“Dan mereka melakukannya dengan cara-cara yang imajinatif yang sesuai dengan kebutuhan setiap zaman,” katanya.

Aktivisme Generasi Z Luar Negeri

Demo besar-besaran di Bangladesh menarik perhatian dunia usai menggulingkan Perdana Menteri Sheikh Hasina yang berusia 76 tahun, sebagai pemimpin dari generasi boomer. Demo ini dijuluki “revolusi Gen Z” karena mayoritas demonstran adalah mahasiswa berusia 18-23 tahun.

Demo yang awalnya menentang sistem kuota perekrutan pegawai negeri sipil (PNS) ini berakhir dengan kerusuhan yang menewaskan 300 orang. Revolusi tersebut kemudian berhasil mengangkat aktivis dan bankir untuk kaum miskin Bangladesh, Muhammad Yunus, sebagai PM sementara Bangladesh.

Aksi demonstrasi nasional pecah di Kenya. Masyarakat menentang rencana pemerintah untuk menaikkan pajak guna menutupi defisit anggaran. Para demonstran menuntut pembatalan RUU Keuangan tersebut, karena dinilai dapat melemahkan perekonomian dan menyebabkan lonjakan harga kebutuhan pokok.

Adapun, para demonstran muda Kenya yang berani telah muncul di jalanan, memaksa pemerintah untuk mundur dari beberapa usulan pajak. Apa yang awalnya dimulai sebagai kemarahan di TikTok terkait dengan rancangan undang-undang keuangan yang kontroversial telah berkembang menjadi pemberontakan, tanpa ada keterlibatan dari partai politik.

Pemerintahan Presiden William Ruto telah berhasil melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh generasi politisi sebelumnya di negara Afrika Timur ini, yaitu menyatukan sejumlah besar warga Kenya melampaui batasan etnis dan partai politik.

Protes yang dijuluki “occupy parliament” ini dikoordinasikan dan dimobilisasi melalui media sosial, berbeda dengan protes yang dipimpin dan didanai oleh politisi. Para demonstran Gen Z hadir dalam jumlah besar. Mereka bertekad memastikan ketidakpuasan mereka tidak berhenti hanya sebagai hashtag atau meme di media sosial.

“Kami Gen Z, dan kami berhasil memobilisasi diri. Kami menggunakan TikTok tidak hanya sebagai tempat untuk mengajak anak muda turun ke jalan, tetapi juga untuk mengedukasi mereka tentang alasannya,” kata demonstran Zaha Indimuli.

Banyak dari mereka yang berdemonstrasi untuk pertama kalinya, membawa tanda-tanda seperti “Jangan Paksakan Pajak Pada Kami,” sementara yang lain meneriakkan, “Ruto harus pergi.”

Seorang mahasiswa 24 tahun Ken Makilya mengatakan pada BBC, “Saya di sini berjuang keras untuk negara yang saya cintai. Ini pertama kalinya saya melakukan ini karena orang tua saya sudah tua dan tidak bisa lagi melakukannya.”

Demonstran Gen Z Indonesia

Beberapa kelompok masyarakat di berbagai kota menggelar demonstrasi setelah pembahasan RUU Pilkada dilakukan dengan sangat cepat. Dalam postingan X dan Instagram, para mahasiswa menyerukan aksi massa disertai sejumlah tagar.

Kamis kemarin, viral “Gedung DPR” dan hashtag “KawalPutusanMK,” yang sudah dibahas lebih dari 1,54 juta post di X. Hal ini menggema beriringan dengan unggahan sebelumnya “Peringatan Darurat” dengan background berwarna biru dan suara latar sirine.

Cuitan sebanyak itu berisi sumpah serapah dan kekesalan netizen, warganet di dunia maya atas kerja DPR yang dinilai mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas dan usia calon kepala daerah.

Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan mengajak 350 kampus di 14 wilayah untuk melakukan aksi demonstrasi di depan gedung legislatif di daerah masing-masing pada Kamis, 22 Agustus 2024, pukul 09.00. 

Demonstrasi ini dilakuan untuk menentang hasil rapat panitia kerja Undang-Undang Pilkada dan Badan Legislasi DPR yang membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi.

“Tidak sekali, dua kali, Jokowi beserta kroni-kroninya membangkangi konstitusi, membajak legislasi, mengkhianati amanat reformasi terhadap demokrasi,” kata Koordinator Pusat Satria Naufal, di depan Gedung DPR, Jakarta Pusat, Rabu malam 21 Agustus 2024.

Dalam aksi demo kamis kemarin, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Verrel Uziel, ia mengaku berdemo untuk mendesak DPR menghentikan pengesahan revisi UU Pilkada.

“Target kami adalah bagaimana revisi Undang-Undang Pilkada dibatalkan sepenuhnya tidak ada pembahasa lanjutan. Tidak ada embel-embel apapun itu, kami ingin dibatalkan sepenuhnya. Dan semua pihak yang ada menghormati putusan MK,” tegasnya. Saat ditanya wartawan sampai jam berapa akan bertahan, dengan tegas ia mengatakan, “Sampai menang.”

Tidak hanya mahasiswa, pelajar SMK juga turut serta dalam aksi demonstrasi menolak pengesahan revisi UU Pilkada di DPR RI. Sekelompok pelajar melemparkan botol minuman serta sampah ke dalam gedung, tepat di depan Gerbang Pancasila.

Beberapa di antara mereka juga berteriak kepada petugas kepolisian yang berjaga di dalam. Mereka beberapa kali mencoba merusak gerbang besi dengan melemparkan benda-benda keras.

Namun, para pelajar tidak mengetahui banyak tentang tujuan demonstrasi. “Kami sih ikut-ikutan aja bang. Demo Jokowi kan? Anaknya nyalon,” ujar AF, 16 tahun, dari Jakarta Selatan.

AF mengaku baru kali ini ikut demonstrasi. “Tadi dijelasin juga di sekolah soal situasi politik oleh guru,” ucapnya. Senada diutarakan RD, 16 tahun. Ia mengaku seru-seruan saja datang ikut aksi. Bahkan ia dan AF tidak tahu jadwal demonstrasi. “Yang penting bantu-bantu abang-abang mahasiswa,” paparnya.

Para penggemar K-Pop di media sosial sebagian besar dari Gen Z, sering menunjukkan solidaritas tidak hanya dalam membahas artis idola mereka tetapi juga dalam isu-isu terkait demokrasi, kebebasan, dan kemanusiaan. 

Hal ini menantang pandangan negatif yang sering ditujukan kepada penggemar K-Pop. Mereka juga menunjukkan aksinya seperti menaikkan hashtag. Isu Peringatan Darurat ini bahkan sudah sampai media internasional, hingga artis luar seperti Jae Park turut speak up terkait hal ini di akun X-nya. 

Para netizen khususnya Gen Z turut meramaikan hashtag #KawalPutusanMK #TolakPilkadaAkal2an #TolakPolitikDinasti #BauKetekOligarki. Bahkan mereka saling membantu menaikkan hashtag untuk mengembalikan sandera atau orang-orang yang diculik saat aksi demo. Hashtag KEMBALIKAN TEMAN-TEMAN KAMI sudah ada 79,1 ribuan menjadi trending topic.

Ini menjadi bukti bahwa Gen Z Indonesia bukan lemah maupun pemalas. Mereka memiliki semangat dan solidaritas yang tinggi. Dilansir dari Aiesec, Gen Z sangat menyukai kebebasa, entah kebebasan berpendapat, kebebasan berkreasi, kebebasan berekspresi, dan kebebasan-kebebasan lainnya.

Gen Z juga menyukai keberagaman, baik ras maupun agama. Mereka lebih terbuka terhadap perbedaan dan memiliki tingkat toleransi yang tinggi. Hal ini juga dipengaruhi oleh media sosial, yang memungkinkan mereka melihat berbagai orang dari seluruh dunia. Karena itu, Gen Z lebih mampu menghargai perbedaan dan menerima keberagaman.

Gen Z memiliki power untuk mempengaruhi orang lain melalui sosial media dengan tujuan agar suara anak muda didengarkan.  Generasi yang dianggap paling individualis dan egois dibandingkan dengan generasi sebelumnya, ternyata Gen Z mampu mengorganisir diri dan memobilisasi aksi.