Ilustrasi golput.
Nasional

Golput Bukan Sekadar Apatisme Politik

  • Golput sendiri merupakan hak konstitusi, yang bisa menjadi sarana untuk menyampaikan aspirasi politik yang tersumbat. Namun tak jarang pemerintah mendiskriminasi kaum golput dengan ancaman-ancaman aturan.

Nasional

Ilyas Maulana Firdaus

JAKARTA--Setelah Anies Baswedan gagal berkontes pada Pemilihan Gubernur Provinsi Jakarta, pendukung Anies yang dikenal sebagai “anak abah” mengampanyaken untuk mencoblos ketiga pasangan di Pilgub Jakarta 2024. Gerakan itu viral di media sosial. 

Fenomena golongan putih (golput) seperti yang dikampanyekan anak abah memang cenderung berulang di Indonesia. Golput sendiri merupakan hak konstitusi, yang bisa menjadi sarana untuk menyampaikan aspirasi politik yang tersumbat. Namun tak jarang pemerintah mendiskriminasi kaum golput dengan ancaman-ancaman aturan. 

Pada saat Pilpres 2019, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, bahkan menyebut tindakan mengajak orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput dapat terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Evaluasi Diri

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menyatakan seharusnya negara tidak perlu menggunakan pendekatan kriminalisasi untuk menyikapi golput tersebut. “Justru negara yang harus mengevaluasi diri dari adanya gerakan-gerakan atau tindakan yang menyerukan golput,” ujarnya, dikutip dari laman Perludem, Rabu, 25 September 2024.

Menurut Titi, untuk mengantisipasi gerakan golput, penting untuk memahami akar penyebabnya. Edukasi politik dapat membantu masyarakat memahami dampak golput dan membuat keputusan yang lebih baik saat memberikan hak pilih. 

Titi mengkritik pernyataan pejabat negara yang sensasional dan menggunakan pendekatan pemidanaan, yang justru dianggap kontraproduktif dalam merespons golput. Jika melihat kilas balik sejarah pemilu dan golput, kita dapat memulainya dari pemilu tahun 1971 ketika hanya partai-partai pro pemerintah saja yang mengikuti pemilu.

Mengutip buku berjudul “Sejarah Golput di Indonesia” karya Bambang Harymurti, banyak warga yang merasa pemilu tidak mencerminkan demokrasi sejati dan hanya merupakan sarana untuk memperkuat kekuasaan Soeharto. Ketidakpuasan ini memicu sebagian pemilih untuk tidak menggunakan hak suaranya sebagai bentuk protes terhadap sistem yang dianggap tidak adil. 

Baca Juga: Anies Effect dan Fenomena Golput di Pilgub Jakarta

Faktor utama yang menyebabkan munculnya golput termasuk pada ketidakpuasan terhadap kualitas calon, persepsi tentang korupsi dan ketidakadilan, serta kekurangan transparansi dalam proses pemilihan. Harymurti juga membahas bagaimana krisis politik dan reformasi mempengaruhi tingkat Golput.

Dalam tulisannya di laman antinomi.org, Taufiqurrahman mengatakan keputusan untuk golput dapat dianggap sah secara ontologis jika dipandang sebagai bentuk pernyataan terhadap ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada. 

Dengan demikian, golput bukanlah sekadar bentuk apatisme, melainkan merupakan tindakan yang memiliki makna dan tujuan tertentu dalam konteks pandangan filosofis dan politik seseorang. “Ontologi golput mencerminkan penolakan terhadap legitimasi politik dan pembatasan yang ada dalam sistem pemilu saat ini,” tulisnya.