Gonjang-Ganjing Utang Pemerintah: Sebagian Khawatir, Lainnya Tidak Ambil Pusing
Utang pemerintah pada Mei 2021 berada di posisi Rp6.418,15 triliun. Kemenkeu mencatat utang ini menurun dibandingkan April 2021 yang mencapai Rp6.527 triliun.
Nasional
JAKARTA – Utang pemerintah pada Mei 2021 berada di posisi Rp6.418,15 triliun. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang ini menurun dibandingkan April 2021 yang mencapai Rp6.527 triliun.
Posisi utang ini dipersepsikan berbeda oleh sejumlah pihak. Ada yang mengindikasikan bahaya, sementara lainnya menganggap utang tersebut masih terkendali
Meski begitu, utang tersebut masih tumbuh tetap mengalami kenaikan Rp1.159,58 triliun dibandingkan Mei 2020. Dengan demikian, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia versi Kemenkeu pada Mei 2021 sebesar 40,49%.
- Modernland Realty Raup Marketing Sales Rp341 Miliar pada Kuartal I-2021
- Waskita Karya Raih Kontrak Pembangunan Jalan Perbatasan RI-Malaysia Rp225 Miliar
- Pengelola Hypermart (MPPA) Berpotensi Meraih Rp670,85 Miliar Lewat Private Placement
Angka itu berbeda dibandingkan hitung-hitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang menyebut rasio utang terhadap PDB Indonesia di posisi 39,4%.
Sebagian besar utang pemerintah ditarik dari Surat Berharga Negara (SBN) dengan porsi mencapai 86,94%. Sementara 13,06% porsi utang ditarik dari pinjaman luar negeri dan dalam negeri.
“Utang Indonesia per Mei 2021 sebesar Rp6.418,15 triliun, sebesar 86,94% bersumber dari SBN,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam rilis APBN KITA edisi Mei 2021, dikutip Kamis, 24 Juni 2021.
Lebih rinci, nilai penarikan utang dari SBN mencapai Rp5.580,02 triliun. Hal itu terdiri dari SBN domestik sebesar Rp4.353,56 triliun dan valutas asing (valas) Rp1.226,45 triliun.
Sementara sisanya didapat dari pinjaman Rp838,13 triliun. Rinciannya, pinjaman dalam negeri Rp12,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp825,81 triliun.
Beda Persepsi
Nilai utang yang ditanggung Indonesia saat ini dipersepsikan berbeda oleh sejumlah pihak. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini menilai porsi utang Indonesia saat ini sudah bisa memicu krisis keuangan.
“Gejala krisis ekonomi sudah mulai berawal dari krisis anggaran dan utang, yang bisa menyebar ke sektor ekonomi lainnya. Investor mulai tidak percaya, modal luar negeri berhenti masuk ke dalam negeri, dan akhirnya masuk ke tahap paling dalam ‘vote of no confidence,” kata Didik dalam keterangan resmi yang diterima Trenasia.com, Kamis, 24 Juni 2021.
Didik mendorong pemerintah untuk segera mengembalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke level di bawah 3% secepatnya. Hal ini nilainya menjadi upaya preventif mencegah tiga krisis di Indonesia.
“Jika sudah sampai tahap ini, maka krisis tiga dimensi bisa terjadi, krisis pandemi, krisis ekonomi dan krisis sosial-politik,” kata Didik.
Berbanding terbalik, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Suharso Monoarfa menyebut porsi utang saat ini masih terkendali meski melewati rekomendasi International Debt Relief (IDR) oleh International Monetary Fund (IMF).
Menurut IDR, Rasio debt service seharusnya berada di kisaran 25%-35% terhadap penerimaan negara, sementara Indonesia bertengger di level 46,77%. Lalu, rasio utang terhadap penerimaan Indonesia yang saat ini sebesar 369%. Angka itu jauh berada di bawa rekomendasi IDR yang mencapai 92%-167%.
Tidak hanya itu, rasio pembayaran bunga Indonesia tercatat sebesar 19,06% atau melebihi rekomendasi IDR yang berada di kisaran 4,6%-6,8%. Meski begitu, Suharso meyakinkan penarikan utang merupakan keharusan untuk mengakselerasi pembangunan di Indonesia.
“Pengelolaan utang kita dari tahun ke tahun tetap terjaga. Meskipun memang ada rasio-rasio yang kita ikutkan dari IDR, IMF, World Bank,” kata Suharso dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dikutip Kamis, 24 Juni 2021.
Sepakat dengan Suharso, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebut Indonesia masih jauh dari risiko krisis dengan porsi utang yang ada saat ini.
Selain masih berada jauh di bawah batas maksimal, Piter menilai, pengelolaan utang dan belanja negara masih optimal untuk mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa pandemi COVID-19.
Stimulus dari dana utang ini yang disebutnya sebagai motor penggerak perekonomian. Selain itu, dana utang juga masih menjadi penopang masyarakat ekonomi lemah yang pendapatannya terdampak pandemi COVID-19.
“Kita harus memilih untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian, melanjutkan program pemulihan ekonomi. Dengan harga kita harus menambah utang, semua risiko di atas bisa kita meminimalkan,” kata Piter kepada Trenasia.com beberapa waktu lalu. (RCS)